Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

Diperlukan Jiwa Pendidik

Selasa, 29 Mei 20120 comments

Artikel ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa, 22 Mei2012

Oleh: Muhammad Abu Nadlir*
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik KebijakanPendidikan FISIP Undip

Plato pernah berkata bahwa pendidikan menghasilkanorang baik, dan tentu, orang baik berperilaku mulia.

Pendidikan memang sesuatu yang sangat penting dalam rangka membangunperadaban yang berkarakter karena dari pendidikan ilmu diperoleh. Dari ilmu,manusia akan mengetahui yang baik untuk diikuti dan yang buruk untukditinggalkan.

Dalam dunia pelajaran, pendidikan dan pendidik adalah dua sisi matauang. Bila salah satu rusak, tidak ada nilai untuk kedua sisinya karena darikeduanya nasib suatu bangsa ditentukan.

Kolaborasi pendidik dan pendidikan dikatakan berhasil apabila mampumenanamkan wawasan untuk membedakan yang benar dan salah, yang baik dan jahat,yang harus dilakukan dan dijauhi. Selain itu, mengajak yang dididik untuk mampudan mau mengimplementasikan wawasan tersebut dalam kehidupan nyata.

Namun, keduanya belum harmoni. Itu terlihat dari keadaan Indonesia yangdilanda berbagai permasalahan seperti etika, kekerasan, perampokan dankorupsi.

Pelajaran sekolah dasar sampai perguruan tinggisebagai ajaran yang mengarah kepada kebaikan, ternyata belum diimplemantasikanpeserta didik sebab ketidakmampuan pendidik mengarahkan dan tidak adanyaketeladanan.

Pendidik sejati mendidik karena panggilan jiwa untukmenanamkan pandangan tentang kebenaran kepada banyak orang. Hal ini sejalandengan tujuan pendidikan yang mengarahkan kehidupan kepada kebaikan.

Dua

Dalam perkembangan sejarah, terdapat dua macam pendidik. Pertama, yangmendidik karena panggilan profetik (kenabian). Mereka mendidik karena inginmenyampaikan kebenaran belaka dan tidak pernah meminta bayaran. Kedua, yangmendidik karena ingin mendapat uang. Materi pendidikan menjadi tidak pentingbagi mereka. Yang terpenting adalah uang.

Pada era Yunani kuno sesungguhnya sudah ada dua kategori pendidik ini.Yang masuk kategori pertama adalah mereka yang sekarang dikenal sebagai parafilsuf. Filsuf mengajar dengan logika, tidak peduli ada uang atau tidak.

Yang masuk dalam kategori kedua adalah sofis, orang-orang yang dianggappintar atau memiliki ilmu pengetahuan. Mereka menggunakan ilmu pengetahuanuntuk mencari uang. Sofis sesungguhnya memiliki makna dasar yang baik, yaknipara pengajar kebijaksanaan. Mereka berkeliling untuk mengajar. Namun, maknatersebut mengalami perubahan karena orientasi pada uang. Sering kali merekamenghalalkan segala cara, termasuk memutarbalikkan logika sehingga yang benartampak salah. Sebaliknya yang salah menjadi tampak benar.

Dalam bahasa Inggris, sofis bahkan dimaknai sebagaipenipu yang mahir berargumentasi. Kalimat-kalimat yang mereka ucapkansepertinya masuk akal, padahal sesungguhnya mengandung kerancuan-kerancuanlogika. Plato bahkan menyebut dengan jelas bahwa para sofis adalah"pemilik warung yang menjual barang rohani".

Sofis adalah orang-orang yang dianggap pintar yang menggunakan ilmupengetahuan untuk mencari uang. Mereka menggunakan kemampuan seni argumentasiuntuk memengaruhi orang lain demi mendapat keuntungan material. Kepuasaan bukanpada nilai-nilai yang mereka hasilkan dan bangun dalam masyarakat, melainkanmateri yang didapat Pendidik yang berorientasi uang sangat sulit diharapkanuntuk dapat memperbaiki peserta didik.

Panggilan

Istilah sofis dilatari mendidik bukan karena panggilan, melainkan lebihkarena faktor keterpaksaan. Ini berkait erat juga dengan sistem rekrutmenpendidik, terutama di level guru.

Bahkan, banyak hasil rekrutan tidak memiliki latar belakangkependidikan. Ini adalah peluang yang dimasuki mereka yang sesungguhnya tidakmemiliki panggilan mendidik, kemudian menjadikan profesi pendidik sebagaipilihan karena tidak memiliki pekerjaan lain. Maka, tak ayal bila sebagianpendidik berasal dari para penganggur terselubung.

Mereka terpaksa menjadi guru daripada tidak memiliki pekerjaan samasekali. Meskipun sesungguhnya mereka memiliki kapasitas yang memadai, tetapijika tidak memiliki panggilan sebagai pendidik, tidak akan bisa menjalankanfungsi sebagai pendidik yang optimal. Ketotalan dan keoptimalan hanya bisadimiliki mereka yang tulus dan ikhlas dalam mengajar.

Pengajaran dari orang yang tidak memiliki keikhlasan, maka tidak akanmampu memperbaiki karena ajarannya hanya keluar dari mulut, bukan dari hati.Kata akan memiliki kekuatan perbaikan yang besar apabila tidak hanya keluardari mulut, tetapi juga berasal dari hati nurani, yakni hati yang bersih karenakemurnian niat untuk berjuang demi perbaikan masyarakat melalui pendidikan.

Alhasil,menyikapi permasalahan di atas, langkah yang paling tepat untuk segeradilakukan bagi penyelenggara pendidikan di Indonesia adalah dengan melakukanreorientasi paradigma para pendidik dengan cara menanamkan paradigma tentangkemuliaan mendidik yang didasarkan kepada nilai-nilai yang melampaui hal-halyang bersifat materi.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger