Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

NURCHOLIS MADJID, PEMBAHARU YANG SANTUN

Minggu, 25 Januari 20150 comments

Lima tahun lalu (29 Agustus 2005), Intelektual dan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur) telah meninggalkan negara ini. Karya serta keteladanan hidupnya banyak member inspirasi pada banyak orang, baik kalangan tua maupun muda, sehingga ia digelari sebagai guru bangsa.
Pada masa sekarang makin sulit menemukan tokoh yang bisa menjadi pegangan hidup seperti Cak Nur. Hanya tersisa tokoh yang masih dalam hitungan jari tangan, seperti Buya Syafi’i Ma’arif, Quraish Shihab, dan yang lainnya, setelah Gus Dur juga berpulang, bangsa ini merindukan sosok tokoh yang bisa menjadi khidmat.
Cak Nur dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat. Dalam HMI Cak Nur juga yang memprakarsai penyusunan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang didalam NDP itu Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber nilai dan dari nilai itu menderivasi ke tujuh bab, ketuhanan, kemanusiaan, takdir, keadilan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dasar-Dasar Kepercayaan, Hakekat Penciptaan dan Eskatologi, Manusia dan Nilai-Nilai Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia dan Keniscayaan Universal, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Ekonomi dan Sains Islam.

Pluralitas bukan Pluralisme
Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman /ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, dan dalam hal ini Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang, manusia mempunyai tanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
Dalam permasalahan pluralisme, Cak Nur tidak memaknainya dengan menganggap semua agama sama, tapi bagi Cak Nur pluralisme adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.
Disini penulis berupaya mengejawantahkan bahwa Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme. Karena pluralitas adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan.   
Nur Khalik Ridwan lewat karyanya yang berjudul ”Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur” (edisi 2003) mengkritik Cak Nur. Intinya, Nur Khalik menyayangkan pendidikan pluralism sebagai bagian dari isu pembaruan Cak Nur, hanya dikonsumsi untuk kalangan tertentu atau masyarakat muslim urban kelas menengah atas.
Tapi penulis menduga kuat, itu hanya asumsi atau kesan yang ditangkap Nur Khalik dalam menilai Cak Nur. Meskipun sangat disayangkan, kritik yang dilakukan Nur Khalik lebih tendensius mengarah ke karakter Cak Nur pribadi, bukannya mengkritik secara pure dari gagasannya.
Karena inilah sebuah taktik top-down dari pembaruan Cak Nur, artinya “membatasi” terlebih dahulu pandangan keagamaan yang berpretensi memiliki ide-ide pembaruan, dijelaskan secara santun dan jika perlu disuarakan secara terbatas, misalnya hanya dalam diskusi terbatas, atau di kalangan akademis, aktivis, atau kalangan muslim kota (urban) yang lebih terbuka menerima gagasan pembaruan.

NDP bukan Ideologi.
Ada yang menarik tentang cerita bagaimana NDP itu lahir, yaitu tentang pengakuan-pengakuan Cak Nur: 
1. Terhadap apa yang Ahmad Waahib tulis dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam yang sangat kontroversial bahwa saya (Cak Nur) dalam tahun 1968 diundang untuk mengunjungi universitas-universitas di Amerika yang waktu itu merupakan pusat-pusat kegiatan mahasiswa. Dan kepergian saya (Cak Nur) ke Amerika itu mengubah banyak sekali pendirian saya (Cak Nur), begitu kata Wahib dalam bukunya. Itu, maaf saja, tidak benar. Jadi di sini Ahmad Wahib salah. Memang perlawatan yang dimulai dari Amerika itu banyak sekali mempengaruhi saya (Cak Nur), tetapi bukan pengalaman di Amerika itu yang mempengaruhi saya (Cak Nur), melainkan justru di Timur Tengah.
2. Setelah pulang dari haji, saya ingin menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar Islam. Seluruh keinginan saya untuk bikin NDP saya curahkan pada bulan April, untuk bisa dibawa ke Malang pada bulan Mei. Jadi NDP itu sebetulnya merupakan kesimpulan saya dari perjalanan yang macam-macam di Timur Tengah selama tiga bulan lebih itu. Jadi sama sekali salah kalau Ahmad Wahib mengatakan itu adalah pengaruh kunjungan saya di Amerika. Begitulah singkatnya cerita. Namanya saja NDP, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan. Tentu saja bahannya itu macam-macam. Saya ingin menceritakan, mengapa namanya NDP. Sebetulnya teman-teman pada waktu itu dan saya sendiri berpikir untuk memberikan nama NDI, Nilai-Nilai Dasar Islam, Akan tetapi setelah saya berpikir, kalau disebut Nilai-Nilai Dasar Islam, maka klaim kita akan terlalu besar. Kita terlalu mengklaim, inilah Nilai-nilai Dasar Islam. Oleh karena itu, lebih baik disesuaikan dengan aktivitas kita sebagai mahasiswa.
3. Lalu saya mendapat ilham dari beberapa sumber. Pertama adalah Willy Eicher, seorang ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman yang membikin buku, The Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism. Nilai-nilai Dasar dan Tuntutan-tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat. Nah, ini ada “nilai-nilai dasar”. Kemudian “perjuangan”-nya dari mana ? Dari karya Syahrir mengenai ideologi sosialisme Indonesia yang termuat dalam Perjuangan Kita. Dan ternyata Syahrir juga tidak orisinal. Dia agaknya telah meniru dari buku Hitler, Mein Kamf. Jadilah Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) itu. Kemudian saya bawa ke Malang, ke Kongres IX, Mei 1969. Tetapi di sana tentu saja agak sulit dibicarakan karena persoalannya demikian luas hingga tidak mungkin suatu Kongres membicarakannya. Lalu diserahkan pada kami bertiga; Saudara Endang Saifudin Anshari, Sakib Mahmud dan saya sendiri. Nah, itulah kemudian lahir NDP, yang namanya diubah lagi oleh Kongres ke-16 HMI menjadi NIK (Nilai identitas Kader).
  Dari pengakuan Cak Nur di atas dapat penulis simpulkan bahwa NDP sebagai ideologi HMI, yaitu Ideologi Islam Keindonesiaan. Karena NDP berakar pada nilai-nilai keislaman, Indonesia, keorganisasian. NDP  buka sebuah ideologi yang sebenarnya, dalam arti ideologi yang berkaitan dengan sikap praksis yang pastinya material. Ideologi yang cenderung memisahkan antara iman (percaya) dan amal, walaupun sifatnya yang bisa lintas agama. Karena iman bukan referensi, tapi juga perlu mengingat adanya sebuah rasionalisasi dan keyakinan. Maka dari itu NDP lebih sebagai tafsir atas ideologi Islam. 
Persoalannya sekarang, bagaimana NDP HMI menjelaskan Islam? Perlu kita ketahui dalam Islam ada Islam Normatif dan Islam Hisrotis.
Islam Normatif adalah Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad S.A.W dan juga Islam yang tidak berubah dan tidak dipengaruhi oleh perubahan zaman dan tempat. 
Sedangkan Islam Historis lebih menekankan pada bagaimana pemeluknya memahami Al-Qur’an dan Hadis yang melahirkan banyak tafsir dan pemikiran-pemikiran keislaman lainnya, Islam yang diperaktikkan dalam realitas kehidupan keseharian masyarakat  dan Islam yang tampil dalam sejarah Peradaban yang panjang. Oleh karena itu, Islam historis adalah Islam yang terus menerus mengalami perubahan, Islam yang harus menyesuaikan diri dengan dinamika zaman dan Islam yang membutuhkan pembaharuan pemikiran dan institusi.
Dan melihat tantangan globalisasi yang meradang dengan bukti arus informasi dan komunikasi mengalir tanpa batas, modal mengalir dengan prinsip “capital has no flags”, otoritas negara melemah, akumulasi kapital oleh kapitalis semakin mudah, kesenjangan ekonomi meningkat, ditambah lagi dengan penyebaran empat isu seksi: yakni demokrasi, HAM, Lingkungan, dan Anti Teroris, dan adanya transformasi besar-besaran pada struktur dan kultur masyarakat. 
Maka Islam, melalui NDP HMI berusaha menyesuaikan Islam dengan kebutuhan zaman. Tapi, jika yang dimaksud Islam yang Normatif, jawabannya tentu tidak. Karena konteks Normatifitas Islam sudah selesai seiring dengan turunnya wahyu terakhir. Jika yang dimaksud dengan Islam Historis, Jawabannya Yes! Jika tidak, Islam tidak akan berperan apapun.
Melalui NDP ini, Cak Nur berusaha menyampaikan bahwa NDP berbicara tentang Islam dalam dua aspek tersebut. NDP memuat ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis sebagai aspek normatifitas Islam. Namun pada sisi lain, NDP memahami ada aspek historis Islam yang perlu dipahami dengan baik. NDP juga membedakan dengan sangat tegas mana yang menjadi esensi (substansi) ajaran Islam dan mana pula yang menjadi legal Formal (aturan-aturan Fikih). 
Dalam konteks HMI, esensi Islam mengatasi ruang dan waktu. Ia menjadi nilai-nilai universal yang salihun likulli zaman wa makan. Sedangkan aspek legal formal sangat mungkin untuk berubah. Pembaharuan pemikiran Islam dalam perspektif HMI sejatinya tetap mengacu pada esensi ajaran Islam. Jika pembaharuan tidak mencerminkan nilai universal, maka pembaharuan itu akan ditolak.
Begitu santunnya pembaharuan yang dilakukan oleh Cak Nur melalui pluralisme dan NDP diatas, semua itu menurut penulis sebagai dasar atas apa yang dikatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ 
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger