Apa yang pernah disampaikan oleh Mochtar Lubis pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam ceramah budaya berjudul “Manusia Indonesia” semakin memberikan bukti bahwa ciri-ciri manusia Indonesia didominasi ciri-ciri yang negatif.
Setidaknya ada enam ciri manusia Indonesia yang dikemukakan Mochtar Lubis, yaitu: (1) hipokrit atau munafik, (2) enggan bertanggungjawab, (3) feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, dan (6) boros dan senang bermewah-mewah (Lihat, Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta: Obor, 2001). Dan dari enam ciri tersebut, hanya artistiklah yang menjadi ciri yang baik. Dan untuk memperbaiki negara ini, ciri-ciri itu harus didekonstruksi dan diganti dengan yang sebaliknya.
Dan salah satu penyakit sosial yang masuk dalam kategori paling berbahaya adalah kemunafikan. Karena dari kemunafikan, persatuan masyarakat dapat terpecah belah. Kemunafikan bisa mendorong individu atau kelompok untuk mengatakan kebohongan demi mendapatkan keuntungan sendiri. Bahkan agama apa pun mengutuk keras sikap munafik ini. Bila dilihat dari bagaiman ketika praktik bernegara di Madinah yang dikenal sangat pluralis, kaum munafik akhirnya tidak diberi tempat dan dijadikan sebagai musuh bersama.
Oleh karena itu, sikap dan perilaku ini harus segera diubah menjadi sikap yang apa adanya, mau menyatakan secara tegas dan lugas, dan satu antara kata dengan perbuatan. Dengan demikian, tidak akan terjadi pengkhianatan oleh satu pihak atas pihak yang lain, karena hal itu dapat merusak harmoni dan menimbulkan konflik sosial dalam masyarakat.
Kemudian, sikap tidak bertanggungjawab. Diakui maupun tidak, sifat inilah yang akan menyebabkan lahirnya “kambing hitam” dalam setiap kekeliruan atau kesalahan yang terjadi. Dan hal ini biasanya dilakukan seorang pemimpin dengan cara menimpakan kesalahan yang terjadi kepada anak buah. Sebaliknya jika anak buah dianggap salah, maka sang anak buah biasanya akan mengatakan bahwa ia hanya menjalankan perintah atasan.
Di beberapa negara lain yang memiliki budaya malu dan tanggung jawab tinggi, pejabat yang melakukan kesalahan mau mengundurkan diri dengan suka rela. Namun, di Indonesia kejadian tersebut masih amat sangat langka. Paradigma buruk ini perlu diubah dengan menanamkan cara pandangan bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko. Dan setiap manusia memiliki potensi salah atau lupa. Karena itu, kesalahan yang berkaitan dengan urusan publik seharusnya diakui secara bertanggungjawab dengan meminta maaf.
Dan jika tergolong cukup fatal, maka yang bersangkutan seharusnya dengan suka rela mengundurkan diri agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan sehingga struktur yang ditempati dapat berjalan optimal. Selain itu, juga memberikan kesempatan kepada yang lebih kompeten untuk menjalankan tanggung jawab untuk perbaikan.
Feodalisme juga terjadi di berbagai lini, baik di birokrasi pemerintahan, partai politik, bahkan juga birokrasi kampus. Budaya feodal nampak dari sikap yang anti kritik pada para atasan atau pemimpin. Kritik seringkali disamakan dengan hinaan. Padahal keduanya sangat berbeda. Di dalam bahasa Inggris, mengkritik adalah to critisize sedangkan menghina adalah to insult. Yang pertama berorientasi positif, karena ingin menciptakan perbaikan, sedangkan yang kedua negatif karena menjelekkan pihak lain. Karena sering dibuat sama antara kritik dan hinaan ini, bawahan akhirnya juga enggan untuk melakukan kritik. Feodalisme kemudian menjadi budaya yang semakin menguat dan bahkan melembaga.
Sikap feodal sudah seharusnya dibuang jauh-jauh, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Semua individu pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Feodalisme adalah perilaku yang hanya cocok dalam budaya masyarakat yang masih percaya pada sistem perbudakan.
Sementara takhayul tak lain adalah cara pandang yang tidak rasional karena dipengaruhi oleh imajinasi keliru. Kepercayaan kepada agama tidak lantas menghalangi mereka dari perilaku berdukun. Dan itu terjadi pada manusia-manusia di berbagai level, tak terkecuali mereka yang sedang berkompetisi menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Pada saat menjelang pemilu misalnya, tidak sedikit para kandidat yang datang kepada dukun untuk melihat keberuntungannya dan berbagai amalan yang dapat membuat mereka menang dalam kompetisi.
Jika para pemimpin negara yang merupakan pemandu orientasi masyarakat telah menggunakan takhayul sebagai bagian dari hidup mereka, maka masyarakat dengan tradisi feodal di atas sangat mudah meniru sikap itu. Seharusnya, kepercayaan kepada agama dibedakan dengan takhayul dan dapat menjauhkan mereka dari praktik-praktik takhayyul. Perbedaan antara agama dengan takhayul adalah yang pertama memberikan panduan yang pasti dan dapat diterima akal sehat sedangkan yang kedua secara keseluruhan tidak masuk akal sehat.
Sikap hidup bermewah-mewah di kalangan pejabat telah berimplikasi buruk kepada keberlangsungan negara. Negara dibuat bangkrut oleh perilaku tersebut. Ibnu Khaldun melihat kecenderungan untuk hidup bermewah-mewah sebagai penyebab perilaku korupsi (Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah). Lihat saja, para koruptor itu memiliki harta kekayaan yang jumlahnya tidak masuk akal. Karena jumlah harta kekayaan mereka melampaui jumlah besaran gaji yang mereka terima dikalikan dengan masa kerja yang telah dijalani. Mereka melakukan tindakan korupsi agar dapat menikmati kehidupan di dunia ini sampai tujuh turunan.
Mereka berpikir bahwa dengan harta kekayaan itu akan dapat mencapai kebahagiaan. Padahal tidak sedikit di antara mereka yang sebelumnya juga berasal dari kalangan tidak mampu dan mampu memperjuangkan hidup dengan berkecukupan. Tapi ketertarikan kepada kemewahan telah membuat mereka melakukan korupsi. Dan karena mereka melakukan korupsi, maka hidup mereka diliputi ketidaktenangan, dan jika terjamah oleh hukum, mereka akan meringkuk ke dalam penjara. Harta kekayaan hasil korupsi pun hilang disita oleh negara. Cara pandang inilah yang harus digunakan untuk menghentikan kecenderungan untuk meneruskan kecenderungan korupsi.
Untuk menanamkan ciri-ciri baru yang sebaliknya bagi masyarakat Indonesia, tentu bukan hal mudah. Sebab, upaya tersebut memerlukan aktor yang kuat. Lalu siapa, atau institusi apa yang saat ini bisa diharapkan untuk melakukan itu? Pertanyaan ini muncul karena kerusakan bangsa ini sudah menyeluruh, di segala lini dan level, baik di pusat maupun daerah; baik kultural maupun struktural. Upaya perbaikan harus berhadapan dengan lingkaran setan. Namun, tetap selalu ada kalangan dengan jumlah kecil yang tetap bertahan dalam kebaikan.
Dalam suasana yang sudah sangat parah, kelompok kecil ini sesungguhnya mendapatkan kesempatan untuk memutus lingkaran setan. Hanya saja, biasanya, karena merasa minoritas, mereka merasa peran mereka sia-sia belaka. Cara pandang inilah yang harus diubah dengan menanamkan optimisme bahwa kebenaran memiliki momentum untuk menang, sebagaimana para nabi yang walaupun sebagian harus mati dibunuh oleh para kaumnya, tetapi sebagian lain mendapatkan keberhasilan gemilang. Semangat profetik itulah yang harus dimiliki untuk mengubah ciri-ciri buruk tersebut. Dan dalam konteks bernegara, penyelenggara negara sesungguhnya memiliki peran paling strategis dalam melakukan perubahan paradigma tersebut.
Artikel ini diterbitkan oleh Padang Ekspres. Hari Senin, 24/10/2011
Posting Komentar