Artikel ini dimuat di Suara Karya, Rabu, 6 Juni 2012
Oleh: Muhammad Abu Nadlir *
Pendidikan dinyatakan berhasil dan tidaknya (saat ini) dikarenakan mendapatkan proses pendidikan sesuai kebutuhan zaman dari sebuah tempat yang dinamakan sekolah. Tapi, permasalahannya yang terjadi dilapangan, masih banyak sekali sekolah, sebuah institusi masih menggunakan metode-metode konservatif.
Lihatlah, ada beberapa yang masih mentradisikan metode menghafal. Sebuah metode yang dianggap sangat membantu peserta didik dalam memahami sebuah pelajaran. Berbagai rumus dan istilah menjadi wajib hukumnya untuk dicerna dalam otak peserta didik, tanpa memahami dan mencoba merasakan, apakah dengan hal itu dapat memberikan manfaat yang besar dalam pemahaman peserta didik atau tidak.
Padahal apabila kita lihat kembali tentang tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, atau mengantarkan anak didik untuk dapat menemukan jati dirinya. Memanusiakan manusia berarti ingin menempatkan manusia sesuai dengan proporsi dan hakikat kemanusiaannya. Sehingga, manusia mampu menemukan jati dirinya. Maksudnya, agar setiap individu manusia itu menyadari dan memahami siapa dirinya, mengapa dia diadakan di dunia ini, dan harus ke mana nantinya.
Ada pertanyaan, siapa manusia dan untuk apa ia hadir di dunia? Untuk menjawab hal itu, maka kita harus kembali melihat sejarah filsafat manusia.
Filsafat manusia pada era kekaisaran Romawi kuno, mengatakan bahwa manusia itu adalah manusia yang berotot, dalam arti memiliki fisik yang kuat. Maka, dibangunlah gymnasium-gymnasium untuk melatih (mendidik) generasi muda agar memiliki fisik yang kuat. Anak-anak muda giat berlatih berbagai kemampuan mengolah tubuh agar menjadi sehat, perkasa dan akhirnya juga dilatih untuk menjadi gladiator. Pada masa itu manusia yang hebat adalah mereka yang bisa menjadi gladiator, menjadi pasukan perang dan sejenisnya. Pada masa ini dikenal pula sebagai masa berjayanya filsafat materialisme, di mana manusia dipandang sebagai onggokan material yang bisa dibentuk menjadi apa pun.
Berikutnya muncul kesadaran bahwa manusia yang baik adalah manusia yang memiliki kemampuan berfikir kritis dan radikal sehingga bisa berkontribusi dalam memecahkan suatu masalah. Pada periode ini muncul pemikir-pemikir hebat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan murid-muridnya. Keberadaan manusia pada masa ini bukan hanya ditandai oleh kehadiran fisik melainkan kehadiran pemikirannya, atau yang terkenal dengan cogito ergo sun (saya berfikir maka saya ada), yang dipopulerkan oleh Rene Descartes. Masa ini juga dikenal sebagai masa kejayaan filsafat idealisme.
Sampailah pada masa Renaisance. Pada masa ini, manusia hebat bukan hanya manusia yang bisa berfikir tapi juga mampu membuat penemuan-penemuan baru. Jadi, pada masa itu, ciri keunggulan manusia adalah berpikir untuk menghasilkan produk. Maka, pada masa inilah aliran filsafat progesif-eksistensialisme menguasai, dan saat itu juga bermunculan para pemikir dan penemu, seperti Guttenberg, James Watt, Wrigth bersaudara dan para penemu lainnya.
Kondisi sejarah perkembangan manusia telah mengalami perubahan dan penyesuaian zaman. Indonesia melalui metode pendidikannya dipersilahkan memilih untuk mengambil mana yang paling cocok, dalam rangka kebutuhan manusia dan ke-eksistensi-an manusia.
Melihat keadaan Indonesia secara umum bahwa berhasilnya pendidikan sangat tergantung pada sekolah yang menaunginya, di mana terdapat materi dan khususnya sangat bergantung pada pendidik (guru). Maka pendidik harus mampu mendefinisikan dan menjelaskan tentang manusia macam apa yang akan dihasilkan melalui proses pendidikan. Bagaimana memperlakukan siswa, mengembangkan bahan ajar, strategi pembelajarran dan menentukan pilihan model evaluasi hasil belajar.
Manusia macam apa yang diinginkan oleh suatu bangsa atau suatu masyarakat merupakan pertanyaan filsafat pendidikan yang harus dijawab oleh para pendidik atau guru. Sebab, seperti apa yang dikatakan Reynold (1999), pendidikan (sekolah) hari ini adalah citraan masyarakat masa depan yang kita inginkan. Apakah kita ingin menghasilkan manusia yang taklik buta terhadap semua aturan pemerintah (penguasa) ataukah kita akan menghasilkan manusia yang kreatif produktif, yang merupakan pilihan akhir yang harus direncanakan sejak awal dalam praksis pendidikan?
Solusi
Langkah yang bisa dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan mencetak guru profesional. Yaitu, pengembang kurikulum, perancang proses pembelajaran, pengembang media pembelajaran serta pengembang model-model evaluasi proses dan hasil pembelajaran. Sebagai orang profesional maka semua harus dilakukan dengan prinsip-prinsip penjaminan mutu berkelanjutan. Artinya, setiap produk yang dihasilkan apakah itu kurikulum, strategi pembelajaran ataukah model evaluasi haruslah mempertimbangkan kualitas dan bersifat dinamis.
Melihat hal di atas, maka metode pendidikan tidak cukup mengajar siswa dengan menghafal tapi juga tentang bagaimana berfikir, dalam hal ini bahwa apa yang siswa pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan.
Metode mangajar hendaknya mendorong siswa untuk memperluas cakrawala, mendorong berfikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berfikir logis, memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial, miningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia. ***
*Penulis adalah Direktur Monash Institute.
Posting Komentar