Artikel ini dimuat Jurnal Nasional, 3 November 2012
TUJUAN pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia,
atau mengantarkan anak didik untuk dapat menemukan jati dirinya.
Memanusiakan manusia berarti ingin menempatkan manusia sesuai proporsi
dan hakikat kemanusiaannya. Sehingga manusia mampu menemukan jati
dirinya. Artinya, agar setiap individu manusia itu menyadari dan
memahami "siapa dia", "mengapa dia diadakan di dunia ini" dan "harus ke
mana".
Namun kini banyak kalangan yang berkecimpung
dalam dunia pendidikan belum begitu menguasai tujuan pendidikan di atas.
Terutama bagaimana pendidik (guru) menghargai anak didiknya, baik dalam
hal memberikan pujian maupun penghargaan. Bisa kita amati, pendidikan
di Indonesia layaknya pabrik ayam yang memproduksi telur. Pabrik
tersebut akan berusaha memproduksi telur dari ayam dengan berbagai cara.
Dan setelah ayam bertelur, maka telur akan dijual demi meraih
keuntungan.
Memang tidak ada bedanya antara
pendidikan di Indonesia dengan pabrik ayam yang memproduksi telur.
Terutama ketika dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai ajang
kompetisi dan ujian nasional (UN). Guru-guru dengan menggunakan metode drill
seakan memaksa para siswa belajar agar ketika mengikuti kompetisi
mendapatkan kemenangan dan ketika ujian nasional mendapatkan kelulusan.
Dan ternyata, di balik kemenangan dan kelulusan tersebut, tak jarang
para guru menjadikan peristwa kemenangan itu sebagai jalan untuk meraih
sertifikasi dan kenaikan pangkat.
Para siswa yang
memenangkan kompetisi dan mendapatkan kelulusan tidak mendapatkan
penghargaan yang layak, meski mereka telah membawa nama baik lembaga
pendidikan dan guru-gurunya. Tak jarang, beberapa guru malah
membanggakan diri sendiri, karena menganggap hasil tersebut berkat
kemampuannya melatih dan mendidik.
Seakan para
pendidik tidak menghiraukan bagaimana perasaan para siswa yang mengikuti
kompetisi dan ujian nasional yang penuh ketegangan dan kecemasan.
Tegang dan cemas bila ternyata gagal dan hanya mendapatkan amarah dan
mungkin cacian dari guru-gurunya yang menganggap bahwa mereka tidak
melaksanakan instruksi sebagaimana mestinya.
Pentingnya Penghargaan
Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulum ad-din
menulis, "Jika pada seseorang anak menonjol akhlak baik dan perbuatan
terpujinya, maka ia patut dimuliakan, digembirakan dan dipuji di depan
orang banyak untuk memberikan semangat berakhlak mulia dan berbuat
terpuji." Memuliakan anak dan memberi semangat dengan hadiah atau dengan
ucapan yang manis sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh
ath-Thabrani, "Saling memberi hadiahlah agar kalian saling mencintai."
Karakter setiap manusia, terutama anak (peserta
didik), pasti lebih menyukai mendapat penghargaan yang sifatnya berwujud
maupun tidak berwujud. Dan ia pun akan berusaha keras mendapatkannya.
Karena itu, seorang guru hendaknya merespons apa yang disukai seorang
anak. Guru harus bisa memberikan hadiah-hadiah tersebut pada kesempatan
yang tepat.
Seorang siswa yang rajin, berakhlak
baik, dan yang dapat menjalankan kewajiban, layak memperoleh hadiah dari
gurunya. Kala itulah, anak itu akan menemukan jiwanya senang menerima
itu di hadapan teman-temannya. Sebab, pada usia pelajar, jiwa seorang
anak lebih dipenuhi insting suka memiliki (Muhammad Jameel Zeero, Nida' ilal Murabbiyin wal Murabbiyat, hal: 95).
Pujian sebagai bentuk penghargaan merupakan salah satu alat
pendidikan yang diberikan kepada murid sebagai imbalan terhadap prestasi
yang dicapainya. Secara didaktis, pujian atau penghargaan beserta
segala macamnya, menurut al-Ghazali, telah menjadi anutan para pakar
pendidikan di zamannya.
Menurut istilah didaktik, pujian atau penghargaan merupakan "fungsi reinforcement" atau fungsi penguatan yang lebih mendorong pada anak untuk semakin meningkatkan prestasi yang pernah diraihnya (Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hal: 86).
"The reward of a thing well done is to have done it"
(Ralph Waldo Emerson, penyair dan filsuf Amerika). "Penghargaan bagi
sesuatu yang dilakukan dengan baik ialah telah melakukannya. Sehingga,
dengan adanya penghargaan, dalam hal ini pujian, merupakan salah satu
alat pendidikan kuratif yang mampu membangkitkan motivasi belajar siswa.
Maka, tidak salah bila pujian yang merupakan
penghargaan menjadi salah satu bentuk alat pendidikan yang mampu
memberikan motivasi belajar bagi siswa. Manakala seorang siswa
mendapatkan penghargaan karena dia berprestasi, tentu semangat
belajarnya pun akan meningkat, karena keinginan untuk mempertahankan dan
menaikkan prestasi belajarnya. Motivasi belajar siswa akan meningkat
ketika prestasi dan kerja keras untuk mencapai kesuksesan belajar itu
diiringi penghargaan dan apresiasi yang baik.
Karena itu, pemberian penghargaan berupa pujian berperan sangat
signifikan dalam upaya peningkatan motivasi belajar demi tercapainya
keberhasilan pendidikan. Dan hal itu akan memberikan semangat bagi anak
terhadap pekerjaan dan prestasi baik yang telah dilakukannya. Dengan
begitu, siswa akan bertambah semangat lagi meningkatkan prestasinya dan
termotivasi untuk mempertahankannya.
Dalam pelaksanaan pendidikan, tiap anak memiliki motivasi
(dorongan/alasan) untuk melaksanakan kegiatan. Dalam pendidikan,
motivasi yang kuat memudahkan pencapaian tujuan, karena motivasi yang
kuat ini melahirkan usaha aktivitas dan minat yang benar dalam mencapai
tujuan itu. Motivasi adalah dorongan yang sangat menentukan tingkah laku
dan perbuatan manusia. Ia menjadi kunci utama dalam menafsirkan dan
melahirkan perbuatan manusia.
Peran yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut sebagai niyyah dan ibadah. Niyyah
merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau beramal. Sementara
ibadah adalah tujuan manusia berbuat atau beramal. Maka, perbuatan
manusia berada pada lingkaran niyyah dan ibadah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan bahwa perbuatan sangat ditentukan oleh niyyah.
Peran guru sangat penting dalam mengarahkan dan menjelaskan kepada
siswa tentang fungsi dan tujuan adanya penghargaan tersebut. Jangan
sampai para siswa dalam menuntut ilmu hanya mengharapkan penghargaan.
Penghargaan hanya seperti jembatan: hanya untuk menyeberang menuju
tujuan. Dengan begitu, siswa akan paham bahwa yang terpenting adalah
bagaimana mereka belajar dengan lebih baik tanpa pamrih.
Posting Komentar