Tiga puluh tahun silam, pada
1970, sebuah acara mewah meriah di Royal Albert Hall, London, tiba-tiba berubah menjadi huru-hara. Sang
pembawa acara, Bob Hope, disemproti tinta, dilempari bom tepung, tomat dan
telur busuk. Hadirin
panik, dewan juri melarikan diri keluar, kontestan menangis, sementara
gerombolan demonstran mengamuk
sambil
meneriakkan yel-yel: We’re
not beautiful, we’re
not ugly. We are angry ! Protes keras untuk kontes Miss
World Beauty itu dilakukan oleh sejumlah aktivis wanita yang tergabung dalam
Women Liberation
Movement. Bagi mereka, perhelatan itu tak ada bedanya dengan pasar hewan.
FEMINISME BARAT
Gerakan feminis
di Barat, tak dapat dipungkiri, merupakan respon dan reaksi terhadap situasi
dan kondisi kehidupan masyarakat
di sana. Penyebab utamanya adalah pandangan sebelah-mata terhadap
perempuan, bermacam-macam anggapan buruk yang dilekatkan kepadanya, serta aneka
citra negatif yang mengejawantah dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan,
hukum, dan politik.
Sejak zaman
dahulu di Barat, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh
St. Agustinus dan Thomas
Aquinas
pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad
modern, citra dan kedudukan
perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan
dengan budak dan anak-anak,
dianggap
lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja menuding perempuan sebagai
pembawa sial dan sumber malapetaka,
biang-keladi dijatuhannya Adam dari sorga.
Akibatnya, peran
wanita dibatasi dalam lingkup rumah-tangga saja. Mereka tidak dibenarkan ikut
campur dalam urusan
laki-laki. (Lihat: John Mary Ellmann, Thinking
About Women (New York, 1968) dan Frances Gies dan Joseph Gies, Women
in the Middle Ages (New York, 1978)).
Kaum feminis
umumnya menganggap Mary Wollstonecraft sebagai nenek-moyang mereka. Lewat
bukunya yang terkenal,
A Vindication of the Rights of Woman (London, 1792), ia mengecam
berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi
perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah
dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage).
Wanita tidak
boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari
kurungan rumah-tangga dan
penjara-penjara
lainnya. Menurutnya, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih
disebabkan oleh
faktor lingkungan, bukan dari sono-nya. Laki-laki pun, kalau tidak
berpendidikan dan diperlakukan
seperti
perempuan, akan bersifat dan bernasib sama, lemah dan tertinggal, ujarnya.
Gebrakan
Wollstonecraft menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh
semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion (1882-1962) di
Perancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, Femme: ose
être ! (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!), Anna Kuliscioff
(1854-1925) di Italy (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle
Lavoratrici), Carmen de Burgos alias
Colombine (1878-1932) di
Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927),
wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.
Selain hak
pendidikan dan politik, aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan
undang-undang negara supaya
lebih adil dan tidak merugikan perempuan.
Di lingkungan
kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan
segala macam pembedaan
atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) segera
dihapuskan. Karyawan tidak boleh
dibedakan
dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan
yang sama. Pemerintah diminta
mendirikan tempat-tempat penitipan anak.
Agenda
emansipasi selanjutnya ialah bagaimana membebaskan wanita dari penjara
kesadarannya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam
cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki
(male dominated world).
Hanya dengan
cara ini, konon, perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi,
eksploitasi dan subordinasi.
Namun pada
beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat kelihatan mengalami
stigmatisasi dan nampak seperti
kena batunya.
Munculnya
feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan,
menghalalkan aborsi, merayakan
lesbianisme dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan itu. Bagi para
feminis radikal, menjadi
seorang
istri sama saja dengan disandra. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living
with the enemy.
Reaksi tajam
terhadap radikalisasi feminis datang dari banyak kalangan. Mantan calon
Presiden Amerika, Pet Robertson,
pernah berkomentar bahwa para feminis itu kerjanya cuma mengompori
wanita agar meninggalkan
suami dan membunuh anak mereka, mengamalkan pedukunan, menjadi lesbian dan
meruntuhkan kapitalisme
(Feminists encourage women to leave their husbands, kill their children,
practise witchcraft, become
lesbians and destroy Capitalism).
Penulis terkenal
Susan Jane Gilman pun menangkap kesan serupa. Banyak kaum wanita sekarang ini,
keluhnya, menganggap
feminisme tidak ketahuan juntrungannya dan tidak jelas apa maunya.
Sementara kalangan lain
menilai wacana feminisme itu elitis, filosofis, ketinggalan zaman,
kekanak-kanakkan, dan tidak relevan lagi (For women today, feminism is often
perceived as dreary. As elitist, academic, Victorian, whiny and passé).
Gerakan feminis
juga disalahkan karena dianggap telah mengebiri laki-laki, menyuburkan
pergaulan sesama jenis, dan mengubah perempuan menjadi mahluk-mahluk yang gila
karir, hidup dalam kesepian, balik ke rumah hanya untuk memberi makan kucing
dan anjing.
Diakui atau
tidak, emansipasi wanita di Barat memang terbukti merusak sendi-sendi
masyarakat dan menghancurkan
nilai-nilai
keluarga. Negara-negara maju seperti Jerman, Jepang dan Singapura kini tengah
berupaya mengatasi apa yang
mereka sebut sebagai krisis demografis.
Banyaknya wanita
yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan dipastikan akan berdampak
sangat buruk bagi
masa depan negara bersangkutan. Menurut laporan Majalah Stern (no. 27, edisi 28
Juni 2005), jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil
dari angka kematian seperti sekarang ini, maka pada tahun 2060 Jerman
diprediksi akan menjadi tempat penampungan generasi tua jompo, menjadi Land
ohne Kinder.
Barangkali karena
terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis
di Barat berangsurangsur
surut
dan kini nyaris tinggal wacana. Nampak telah terjadi semacam kejenuhan,
keresahan dan rasa bersalah
karena
melawan naluri dan mengingkari kodrat sendiri.
Akhirnya muncul
gerakan anti-tesis yang menyeru kaum wanita agar kembali ke pangkal jalan. Erin
Patria Pizzey (penulis
buku Prone to Violence), Caitlin Flanagan (kolumnis tetap the
Atlantic Monthly), professor Iris Krasnow (penulis buku Surrendering to
Motherhood), dan mantan pengacara F. Carolyn Graglia (penulis buku Domestic
Tranquility) dapat dikatakan
mewakili arus balik ini. Demikian pula Lydia Sherman and Jennie Chancey yang
mendirikan yayasan Ladies
Against
Feminism (LAF).
Menurut hemat
mereka, gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender
tidak harus dipahami sebagai
perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle) dalam arti saling
menegasikan, melainkan dalam
perspektif
kerja-sama dan hubungan timbal-balik, dalam arti saling menopang dan
bahu-membahu membangun keluarga,
bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu
sama lain.
FEMINISME TIMUR (ISLAM)
Di dunia Islam, wacana
emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M).
Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum
wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya
mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam
pembangunan Umat. Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari
Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak
perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih,
berdagang, menghadiri shalat berjama’ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.
Ulama lain yang
berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh
Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini
mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.
Namun ada juga yang
menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini
disebut-sebut sebagai Bapak Feminis Arab. Dalam bukunya yang
kontroversial, Tahrirul-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah
(Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu,
buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu
perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.
Gagasan-gagasan Qasim
Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya,
Tahrirul-Mar’ah fi ‘Ashrir-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan bahwa
tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat
emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah
menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.
Agama samawi terakhir
ini datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur Jahiliyah yang dikenal
sangat zalim dan biadab itu. Abu Syuqqah juga
menemukan bahwa pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya sebagai
layaknya manusia dan warganegara (bukan sebagai komoditi), terjun dan berperan
aktif dalam berbagai sektor,termasuk politik dan militer.
Kesimpulan senada juga
dicapai oleh para peniliti Barat (Lihat misalnya: Dorothy van Ess, Fatima and
Her Sisters (New York, 1961); Magali Morsy, Les
Femmes du Prophete (Paris, 1989); D.A. Spellberg, Politics, Gender, and the
Islamic Past: the Legacy of ‘Aisha bint Abi Bakr (New York, 1994).
Dengan kata lain,
gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya
dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam datang
mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, seperti
mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan
sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada
kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Nah, semua
ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.
Sebagaimana dimaklumi,
masyarakat Arab zaman Jahiliyyah mempraktekkan bermacam-macam pola perkawinan.
Ada yang disebut nikah ad-dayzan, dimana anak sulung
laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya.
Caranya sederhana, cukup
dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah
mewarisi ibu tirinya itu sebagai isteri.
Kadangkala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada
satu sama lain untuk dinikahinya.
Praktek ini mereka
namakan nikah as-syighır. Ada juga yang saling bertukar isteri hanya
dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu
membayar mahar, yaitu nikah al-badal.
Selain itu ada pula yang
dinamakan zawaj al istibdha’, dimana seorang suami boleh dengan paksa
menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah
hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata
karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai
keistimewaan tertentu.
Bentuk-bentuk pernikahan
semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. (Lihat: W.R. Smith,
Kinship and Marriage in Early Arabia
(London, 1907).
Gerakan feminis radikal
rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama Fatima
Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the
Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve),
Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The
International Network for the Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku
Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari
Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.
Sedikitnya ada tiga
faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama,
imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara
Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya.
Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat
kita sesalkan.
Kalau tokoh-tokoh
seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali
kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal
malah mengajak orang untuk mengabaikannya.
Bagi para ulama,
ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat Islam
lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat
setempat, ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah
dan harus dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang
dikatakan mencerminkan budaya patriarkis. Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.
Seperti kita ketahui,
tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan
misogyny atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan
pasangannya, sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah
pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma ataupun kuma).
Disamping itu, bukan
pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda
keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian.
Di muka bumi, baik
laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan
oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh
masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian
bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya.
Namun dalam kehidupan
rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab
berbeda, seperti lazimnya hubungan antar
manusia.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk
berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi
munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sesungguhnya laki-laki
dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar. Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).
SEHARUSNYA BAGAIMANA?
Nabi Muhammad SAW
mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisa’ syaqa’iqur-rijal)
(HR Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Oleh karena itu,
meskipun di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai
diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi adalah
masyarakatnya, bukan agamanya. Toh, di tanah kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa
menghapuskan sama sekali berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan hasil sebuah
survei, kendati undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act 1970) di Inggris
sudah berusia 30 tahun lebih, wanita yang bekerja sepenuh waktu di
negeri itu digaji 18% lebih rendah dari pekerja laki-laki.
Sementara mereka yang
bekerja separuh waktu menerima upah 39% lebih rendah berbanding laki-laki.
Begitu juga di Amerika Serikat, pendapatan kaum
wanita rata-rata 25% lebih rendah dibanding laki-laki. Penelitian lain
menemukan bahwa dalam tiap 10 detik di Inggris
terjadi tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini belum termasuk tindak pelecehan seksual
dan sebagainya.
Dr. Lois Lamya al-Faruqi
mungkin benar, gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil bila
tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing
yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk
diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Disamping itu, gerakan
feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan
umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik (radikal) dan hanya
memikirkan kepentingan kaum wanita saja.
Terakhir, pejuang gender
juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan
agenda mereka, agar tidak menabrak rambu-rambu yang ada dan tidak menuai
badai.
Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu
jika sudah melewati batas, justru memantulkan kebalikannya (kullu syai’in
idza balagha haddahu inkasa ‘ala dhiddihi).
Posting Komentar