Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

Menggagas Kurikulum Kecerdasan

Minggu, 18 Maret 20120 comments


Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional. Hari Sabtu 25 Februari 2012.

JEAN Peaget, seorang psikolog mengatakan, tujuan paling prinsip dari pendidikan adalah menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, bukan hanya mengulangi apa yang dilakukan generasi sebelumnya. Inti tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia kreatif, memiliki daya cipta, dan penemu (Jean Peaget, The Psychology of Intelligence, 2001, h 131).

Namun, bila melihat keadaan di Indonesia, tujuan pendidikan sebagaimana dikehendaki Jean Peaget sama sekali belum terjadi. Bukti, banyaknya lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan segala hal yang tidak sesuai dengan kemampuan peserta didik. Banyak peserta didik yang stres gara-gara apa yang mereka pelajari di sekolah ternyata tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Siswa yang secara jelas tidak mampu menggambar malah dihukum. Yang akhirnya sekolah atau lembaga pendidikan akan dianggap sebagai rumah hantu, karena rasa ketakutan yang peserta didik alami apabila tidak mampu mengerjakan yang diperintahkan guru.

Kurikulum Berbasis Kecerdasan

Salah satu masalah besar yang terjadi dalam dunia pendidikan adalah ketidaktepatan dalam memahami kecerdasan murid-murinya. Seringkali, peserta didik dianggap tidak cerdas, karena tidak memahami dengan baik mata pelajaran tertentu, terutama matematika.

Howard Gardner, seorang Psikolog dari Universitas Harvard, mendekonstruksi pandangan ini dengan menyuguhkan sembilan jenis kecerdasan (Howard Gardner, The Development And Education Of The Mind: The Selected Works Of Howard Gardner, h 47-54). Macam-macam kecerdasan ini memungkinkan seseorang memiliki kemampuan tertentu yang menonjol, bahkan mungkin tidak disadari oleh yang bersangkutan bahwa ia memiliki kemampuan itu.

Sembilan kecerdasan tersebut, pertama, kecerdasan linguistik-verbal, yang memungkinkan seseorang sangat terampil berolah kata, sehingga apa yang dipikirkan dapat dituangkan dalam kata atau kalimat, lisan maupun tulisan. Kecerdasan jenis ini sangat mendukung untuk bercerita, berdebat, berdiskusi, menyampaikan laporan, dan sebagainya yang sejenis yang sangat mendukung berbagai profesi, di antaranya: guru, pengacara, orator, penyiar/presenter, penyair, dan editor. Kecerdasan inilah yang menonjol dalam diri orang-orang seperti Shakespeare dan Homeros.

Kedua, kecerdasan logico-mathematic, yang membuat seseorang sangat mudah berinteraksi dengan angka-angka dan mampu memahami hubungan kausal, sehingga memiliki cara berpikir yang logis dan dengan cepat mampu memahami fenomena yang bersifat ilmiah. Kecerdasan jenis ini akan memudahkan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar dalam kriteria logika. Newton dan Einstein adalah dua dari sekian banyak ilmuan yang menonjol karena kecerdasan jenis ini.

Ketiga, kecerdasan visual-spasial, yang membuat seseorang memiliki kemampuan untuk secara detail menggambarkan apa yang dicerapnya. Kecerdasan ini dimiliki oleh navigator, arsitek, dan para seniman lukis (juga yang berkaitan dengan gambar-gambar, seperti lukisan/foto). Lukisan yang berkualitas dihasilkan oleh pelukis yang memiliki kecerdasan tinggi dalam melihat goresan-goresan yang diciptakannya melalui kuas.

Demikian juga seorang fotografer yang mumpuni, mampu membuat analisis yang tepat tentang pengaruh cahaya, latar belakang, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi kualitas hasil foto. Thomas Alva Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams adalah contoh tentang orang-orang dengan kecerdasan visual-spasial yang baik.

Keempat, kecerdasan ritmik-musikal, yang membuat seseorang piawai memainkan alat musik karena ia pandai menyimpan nada dalam pikirannya, sehingga ia mampu dengan baik mengingat irama dan kemudian secara mudah terpengaruh oleh musik. Menurut Plato, musik memiliki pengaruh yang sangat besar ke dalam jiwa, bahkan yang terdalam. Musik juga dapat membantu memberikan stimulus kepada tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang lebih mudah seperti dilakukan para pesenam.

Kelima, kecerdasan kinestetik, yang memungkinkan seseorang dengan mudah melakukan gerakan yang bagi kebanyakan orang sangat sulit, bahkan tidak bisa dilakukan. Kecerdasan ini dimiliki terutama oleh para atlet, perajin, montir, dan ahli bedah. Keenam, kecerdasan interpersonal, yang membuat seseorang mampu berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Kecerdasan ini pada dasarnya sangat diperlukan untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat.

Sesuai dengan fitrahnya, sebagaimana dijelaskan Aristoteles dalam bukunya Republica bahwa manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial). Tidak ada satu pun manusia yang bisa hidup sendiri di pulau-pulau di atas dunia ini. Dengan kecerdasan ini, seseorang mampu menjalin relasi dengan orang lain secara lebih empatik, sehingga disenangi oleh banyak orang. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin sosial dan politik, seorang yang pandai membuat jaringan (networker), juru runding, dan guru yang baik. Mahatma Gandhi adalah salah seorang yang menonjol dalam kecerdasan interpersonal ini.

Ketujuh, kecerdasan intrapersonal, yang memungkinkan seseorang mengakses perasaannya sendiri yang terdalam, membedakan berbagai keadaan emosi, mampu memahami nilai-nilai hidup untuk membimbing hidupnya. Kecerdasan ini lebih optimal jika distimulasi dengan kegiatan meditasi, kontemplasi, dan berbagai aktivitas penelusuran jiwa secara lebih mendalam. Kecerdasan jenis ini membuat pemiliknya sangat mandiri, fokus pada tujuan, dan sangat disiplin, sehingga kurang suka bekerjasama dengan orang lain. Ini adalah kecerdasan para konselor dan ahli teologi.

Kedelapan, kecerdasan naturalis, yang memungkinkan sesesorang memiliki kemampuan yang lebih dalam mengenali, membedakan, mengungkapkan, dan membuat kategori terhadap apa yang dijumpai di alam alam semesta ini. Kesembilan, kecerdasan eksistensial yang lebih berupa kemampuan untuk berpikir filosofis, selalu bertanya mengapa yang ada ada, atau asal mula dari yang ada, dan ke mana yang ada jika “tiada‘.

Agar mampu melaksanakan fungsi pendidikan secara optimal, maka lembaga pendidikan harus bisa memenuhi kurikulum dengan standar kompetensi meliputi: kompetensi pengelolaan pembelajaran, wawasan kependidikan, pengembangan profesi, kemampuan kepribadian, kompetensi akademik atau bidang studi, dan kemampuan sebagai motivator dalam mendorong para peserta didik untuk jauh lebih maju secara mandiri.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger