Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

Membangun Politik Berhati Nurani

Selasa, 29 Mei 20120 comments


Artikel ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 24 April 2012

Muhammad Abu Nadlir
Mahasiswa magister FISIP Undip

Indonesia adalah sebuah negara besar dengan kebinekaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Sayangnya, keberagaman tersebut kadang menyebabkan pengelompokan-pengelompokan terhadap mereka yang merasa memiliki kesamaan. Kelompok ini melahirkan berbagai komunitas. Maka dari itu, kemunculan banyak partai politik (parpol) di Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat bisa dimaklumi.

Setiap parpol secara ideal sesungguhnya merupakan upaya menunjukkan eksistensi satu atau beberapa kelompok masyarakat. Lebih dari itu, parpol merupakan sarana atau alat legal untuk memperjuangkan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan melalui struktur kelembagaan negara.

Karena perbedaan merupakan hukum alam, setiap kelompok politik harus diberi kesempatan mengekspresikan diri asal berdasarkan aturan permainan. Mereka harus menempatkan cita-cita dan kepentingan negara di atas segalanya. Mereka tidak boleh memiliki cita-cita dan garis perjuangan yang kontradiktif dengan cita-cita dan kepentingan negara, seperti menciptakan masyarakat yang cerdas, sejahtera, dan berkeadilan. Kepentingan politik yang bersifat sektoral dan berjangka pendek dalam konteks-konteks tertentu memang tak bisa dihindarkan, tetapi harus melebur ketika berkontradiksi dengan kepentingan negara.

Sikap menghindarkan diri dari kepentingan sempit dan berjangka pendek tak dapat dipisahkan dari kualifikasi politisi, terutama mereka yang memengaruhi secara langsung kendali kekuasaan. Kapasitas pemikiran, wawasan, dan pengalaman seseorang akan sangat berpengaruh pada sikap politiknya. Pemikiran, wawasan, dan pengalaman yang minim cenderung mengantarkan kepada praktik politik pragmatis yang mendorong adanya transaksi-transaksi politik yang lebih berbau ekonomis daripada bernuansa intelektual dan ideal. Ini akan melahirkan sikap politik oportunistis.

Politik di samping didasarkan pada rasionalitas, juga harus diimbangi dengan hati nurani. Tanpa nurani, politik hanya dikaitkan dengan kalkulasi untung rugi. Nurani akan menjauhkan politik dari praktik-praktik hanya berorientasi pada kepentingan dan keuntungan diri atau kelompok sendiri.

Sikap kesatria sangat diperlukan dalam aktivitas politik dan diwujudkan dalam berbagai kesiapan menerima kemenangan maupun kekalahan. Kemenangan harus dimaknai sebagai panggilan mewujudkan cita-cita negara lewat struktur kekuasaan. Sejatinya, kekuasaan adalah panggilan melayani. Menjadi penguasa adalah kewajiban menjadi pelayan.

Sebaliknya, kekalahan harus diterima sebagai konsekuensi dari pertarungan yang sehat dan bernalar. Kekalahan bukan ketertutupan. Masih ada waktu di masa mendatang.

Itulah suksesi yang legal. Itulah alih kekuasaan yang didasarkan pada rule of the game yang telah disepakati bersama sehingga kompetisi politik berlangsung adil. Dengan demikian, tidak ada istilah perebutan kekuasaan karena terminologi itu lebih banyak mengandung unsur atau bernuansa negatif.

Maka dari itu, pandangan sempit atau egosentrisme kelompok harus dijauhkan. Sebaliknya, kedepankan semangat memperbaiki keadaan negara. Alih kekuasaan bukan semata-mata mengejar target atau kepentingan kelompok dan berjangka pendek.

Indonesia masih dibelenggu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pelayanan birokrasi tidak berfungsi secara optimal. Di berbagai wilayah, muncul konflik sosial dan politik. Masalah-masalah ini berpotensi menimbulkan keretakan Indonesia dan menganggu upaya menyejahterakan rakyat.

Karena itu, setiap kekuatan politik, baik yang berada di luar maupun di dalam struktur kekuasaan memiliki tugas bersama untuk menciptakan sistem atau tata pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN yang merupakan virus paling berbahaya. KKN dapat meruntuhkan negara karena secara faktual menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat.

Konflik politik maupun kultural telah menimbulkan perpecahan di antara sesama anak bangsa. Beberapa kasus bahkan telah mewujud dalam bentuk tuntutan pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau dibiarkan terus, ini akan memperlemah NKRI. Konflik yang terjadi dalam masyarakat secara faktual tidak mudah dihilangkan begitu saja.

Perlu waktu yang cukup panjang untuk meminimalisasi dan menghilangkan konflik. Rekonsiliasi nasional harus terus digalakkan agar tidak muncul lagi wacana-wacana yang mengarah pada pelemahan NKRI. Keadilan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya membangun rekonsiliasi sebab sesungguhnya penyebab konflik dan keinginan memisahkan diri ialah karena perlakuan tidak adil. Contohnya ialah ketidakadilan dalam membagi sumber daya sehingga menyebabkan ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik.

Ketimpangan ini menyebabkan kecemburuan dan sakit hati yang mengantarkan pada sikap ekstrem ingin memisahkan diri karena mau mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri.

Neoliberalisme dan neokolonialisme juga menjadi ancaman yang sangat besar. Neoliberalisme telah menyebabkan melemahnya fungsi negara karena tergerus oleh dominasi perusahaan-perusahaan multinasional, sedangkan neokolonialisme telah menyebabkan kekayaan negara tidak memberi manfaat kepada warga negara sendiri karena kekayaan tersebut lebih banyak diserahkan kepada pihak-pihak asing dalam bentuk kontrak-kontrak karya yang pembagiannya sangat tidak proporsional.

Untuk mengakhiri masalah ini, diperlukan pemimpin di segala level struktur negara yang berjiwa nasionalis kuat dan berkarakter. Mereka hanya akan lahir dalam sebuah alam politik sehat dan berdasar nurani.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger