Bisakah
dzikir menyembuhkan kanker? Mungkin, kalau jawabannya seperti ini, maka akan
dianggap sebagai pernyataan bodoh. Setidaknya bagi sebagian orang yang sangat
tergila-gila terhadap dunia sains dan ilmu pengetahuan.
Bagi yang waras sekalipun, adalah
humor yang sangat tidak lucu bila datang seorang takmir masjid menasehati
seorang dokter penyakit dalam dengan mengatakan bahwa dengan berdoa bisa
menyembuhkan penyakit Sirosis Hati, jenis penyakit hati paling mematikan yang
sering dijuluki sebagai "The Silent Keller" (pembunuh yang
pendiam). Ini sama lucunya juga bila kita mengantarkan seorang pasien yang
jelas memiliki penyakit kanker payudara ke seorang dukun pijat kampung.
Ketika teknologi telah menembus
planet bumi dalam waktu (hanya) hitungan detik, Amerika sudah mampu melakukan
uji coba 'cloning' hewan dan manusia, bagi kebanyakan orang, teknologi dan ilmu
pengetahuan yang sedemikian canggih ini adalah jawaban dari keterbatasan
manusia. Setidaknya sesuatu yang amat puritan, dikala kecanggihan kedokteran
sangat mudah dicari dimana-mana, tapi ada orang percaya dukun. Dan
sekurang-kurangnya, amat "primitif", bila kecanggihan
teknologi sudah menyebrangi batas geografis dan budaya tapi masih ada orang
percaya hal "ghaib".
Tapi memang sudah Sunnah Allah
SWT, tatkala Dr. Francis J. Keefe, seorang peneliti dari Duke University
Medical School, North California, Amerika Serikat. Dalam sebuah tulisannya
disebuah jurnal kesehatan, The Journal of Pain (April 2001), mengulas
sebuah hasil penelitiannya tentang efek ketaatan beragama dalam mengatasi sakit
nyeri artritis rematik (rheumatoid arthritis). Dalam tulisannya itu ia
mengatakan bahwa dari 30 orang penderita rheumatoid arthritis yang
didiagnosanya, membuktikan bila pasien yang taat beragama dan dekat dengan
Tuhan cenderung mampu mengatasi rasa nyeri rheumatoid arthritis. Kata
Francis, ternyata gara-gara beragama mampu membuat orang mengatasi perasaan
bersalah, menghilangkan pikiran buruk dan mendapat ketenangan hidup.
Teknologi
dan ke-Ghoib-an
Ke-Ghoib-an (irasional)
adalah dunia nomor dua, apalagi setelah negara-negara maju seperti Barat dan
Eropa lebih mencurahkan akal dan pikirannya untuk kemajuan dan kejayaan
teknologi dan ilmu pengetahuan. Ke-Ghoib-an (mistis) adalah sesuatu yang
tidak mudah diterima dengan akal, karena tidak dapat dibuktikan dan diukur.
Karena itulah, ke-Ghaib-an (mistis) sering diidentikkan dengan wilayah
orang-orang yang tidak terdidik dan terpinggir. Orang terdidik adalah mereka
yang menerima sesuatu berdasarkan akal, rasio dan menerima sesuatu berdasarkan
akal sehat. Rasio adalah ciri orang cerdik pandai. Dan ke-Ghaib-an adalah ciri
rang-orang bodoh, tidak sekolah, pinggiran dan tidak paham kemajuan ilmu
pengetahuan.
Nyata dan ghaib (mistis) adalah dua
sisi yang diberikan Allah kepada manusia. Bahkan dalam Islam pun, Allah mewajibkan
untuk menyakininya (al-Baqarah: 3) sebagai bagian tingkat spiritual orang dalam
beragama. Semakin orang menyakini hal-hal ghaib (mistis), menunjukkan tingkat
Iman orang tersebut semakin tinggi. Spiritualista dan agama sering diidentikkan
dengan urusan kejiwaan yang abstrak dan tidak riil. Sedangkan lawannya
materialitas, adalah sesuatu yang dapat dilihat, dosentuh dan diukur. Orang
yang berbahagia tidak bisa diukur hanya dengan melihat pakainnya. Tapi orang
berada bisa dilihat dari bagaimana cara dia menggunakan dan memiliki pakaian.
Atas nama teknologi dan ilmu
pengetahuan lah, hal-hal yang berurusan dengan ke-Ghaib-an; misalnya tentang
sesuatu kehidupan lain yang selain tampak, sesuatu kekuatan lain selain ciptaan
manusia dan hakekat keberadaan Tuhan
menjadi memudar. Atas nama ilmu pengetahuan pula kemudian orang-orang beragama
seolah-olah sebagai kaum yang primitif.
Jalan
Kembali
Adalah
William James, yang sering dijuluki Psikolog Amerika pertama, mengakui
pengalaman mistikal sebagai Fenomena Psikologi. Dalam bukunya The Varieties
Of Religious Experience (1902). James mengemukakan bahwa pengalaman
mistikal adalah akar dari semua agama di dunia dan ini merupakan dorongan
(impulse) yang sehat dan wajar. Belakangan, para pakar psikologi termasuk Carl
Gustav Jung , yang mana Jung ini bahkan sampai kecewa terhadap gurunya sendiri,
Sigmund Freud. Jung disini mengatakan bahwa ia mengakui bahwa ada keberadan
'ruh' dalam kasus psikologis. Dia bahkan sering kali menulis bahwa pengalaman
spiritual adalah tanda kesehatan jiwa dan pada akhirnya merupakan satu-satunya
obat bagi neurosis. Selain Jung, ikut pula orang-orang besar dalam dunia
psikologi seperti; Abraham Maslow.
Maslow bahkan menjuluki aliran baru pendekatan psikologi ini dengan istilah
"psikologi kelompok keempat", yang mengunkan pendekatan agama,
setelah ketiga kelompok psikologi lainnya; psikoanalisis, behaviorisme, dan
psikologi humanistik diangap gagal.
Herbert Benson, seorang ahli media
dari Harvard University, di tahun 1980-an kemudian memopulerkan cara merawat
kesehatan melalui doa dan meditasi. Ilmuan barat baru percaya, bila orang yang
beriman dan sering berdoa tidak mudah depresi, stress, dan penyakit psikis lainnya.
Dulu (mungkin) orang barat tertawa
terpingkal-pingkal melihat orang yang sehat, atau hidup damai dan kaya dengan cara
jungkir balik (sujid dan rukuk dalam shalat). Kini bisa jadi sebaliknya, ketika
orang-orang jet-set, mereka seperti; Ricard Gere ikut-ikutan menjadi
anggota Sudarshan Krya, sebuah
aliran meditasi yang didirikan oleh Guru Sri Ravi Shankar dari India, hanya
untuk mendapatkan ketenangan hidup. Atau, mungkin saya sedang keliru, ketika
memperhatikan orang-orang modern, seperti; pengusaha, pejabat dan orang-orang
yang mengaku sebagai Intelek yang mulai rajin mendatangi hotel berbintang untuk
sekedar mengikuti pelatihan shalat khusu', zikir bersama, dan yang mengikuti
yoga atu meditasi seperti chakra, prana, kundalini, atau reiki,
hanya untuk mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai "ketenangan jiwa".
Bukankah itu yang pernah mereka katakan, kalau hal itu hanya dilakukan oleh
orang-orang yang tidak terdidik yang diangap kurang rasional itu?.
Posting Komentar