Oleh:
Muhammad Abu Nadlir S.Th.I
Suatu malam di sebuah Mushola, teman saya pernah berkata dengan gaya
bicara yang serius “aku takut nanti bila terjun di masyarakat, lihatlah
sekarang banyak teman-teman sebaya yang serampangan dalam melihat agama”.
Rasa pesimis yang diderita teman
saya ini memang cukup beralasan, mengingat perkembangan zaman yang semakin
cepat dan mengglobal ini, yang menuntut juga perkembangan kajian lapangan dari
kajian hukum Islam. Sebuah kenyataan, bahwa orang sekarang banyak yang
menghadapkan suatu masalah kepada logikanya masing-masing, sesuatu yang tidak
ada di dunia ‘logika mania’ pun mereka ada-adakan. Hukum Allah yang paten dan
tidak bisa ditawar lagi, sulit mereka terima, hati mereka terlalu sempit untuk
menerima sesuatu yang barangkali tidak ma’qul (dicerna akal), atau
jangan-jangan pikiran mereka saja yang tidak mampu?
“Seandainya kamu ditanya tentang
shalat, mengapa mesti ada shalat? Toh banyak mereka yang tidak melakukannya
dapat hidup dengan bahagia”. Diantara perbincangan tadi, teman saya juga
mengungkapkan hal ini sebagaimana telah dialaminya ketika menghadapi
teman-temannya yang serampangan dalam mempertanyakan kewajiban agama ini.
Dia pernah dipojokkan dengan persoalan duniawi, dimana shalat dikaitkan dengannya.
Mereka tidak ingat bahwa dibalik gebyar kenikmatan dunia ada kenikmatan yang
hakiki, kenikmatan batin yang tidak dapat didapatkan kecuali oleh orang-orang
tertentu.
Ketentuan inilah yang harus
mereka raih terlebih dahulu sehingga mereka pun bisa merasakannya. Bukankah
dengan keseimbangan antara jiwa dan materi teramat kuat dalam Islam? Begitu
pula antara dunia dan akhirat. Mereka tidak ingat bahwa diri mereka adalah
makhluk; wujud karena adanya Al-Kholiq.
Setinggi-tinggi bangau terbang akan kembali ke sarangnya juga. Dalam
perjalanan kembali mereka butuh bekal, peralatan dan persyaratan untuk bisa
diterima dengan baik dihadapan-Nya. Di dunia inilah mereka dapat
mempersiapkannya. Kalau hal ini sudah tidak mereka sadari, apakah harus “Lana
A’maluna wa Lakum A’malukum” (Bagiku apa yang aku kerjakan dan bagimu apa
yang kamu kerjakan)? tidak punyakah kita lidah yang ujungnya mampu menyadarkannya?
Bukankah itu tugasnya, tugas kita semua, Khalifah di bumi ini.
Sebaiknya kita berikan pandangan
yang berbeda kepada mereka ini, tergantung obyek yang kita hadapi, sebagaimana
penentuan hukum karena kefleksibelannya dalam Islam. Kandungan yang terdapat
didalamnya, selain yang saya sebutkan tadi, adalah sendi-sendi yang berdiri di
atas prinsip akal, penghargaan tinggi terhadap fitrah manusia, memperhitungkan
kenyataan yang ada, menegakkan keadilan diantara manusia tanpa pilih kasih,
menyajikan hal-hal yang menguntungkan dan kebaikan serta menolak yang merugikan
dan keburukan semampunya. Bukankah faktor-faktor kefleksibelan dan keelastisan
hukum Islam mampu menjawabnya.
Begitu pula dalam penentuan hukum
yang tidak ada naskahnya, itu memang disengaja untuk memberi ruang gerak kepada
Mujtahid untuk menentukan yang lebih “ashlah” untuk manusia pada
zamannya. Adapun nash-nash agama, yang kaitannya dengan permasalahan tersebut,
bukanlah menjadi pengekang bagi perjalanan aktifitas umat Islam dan peradaban Islam.
Nash itu adalah menara, pedoman dan juga petunjuk jalan, pelita kalbu
perjalanan. Dinding pemisah antara yang haq dan bathil. Jadi masalahnya adalah
bagaimana membantu mereka menangkap sinyal tersebut.
Diutusnya Rasul terakhir, Muhammad
SAW dan tidak adanya utusan sesudahnya, sudah memberi gambaran bahwa Islam yang
diembannya merupakan agama yang berdinamika tinggi, menjamin kemampuannya untuk
dapat menampung serta menjawab permasalahan yang komplek sekalipun dan yang
timbul akibat perkembangan masyarakat dan zaman yang dialaminya, sholih li
kulli makan wa zaman.
Karena Islam berada pada masyarakat
yang komplek, berada pada masa perkembangan yang realistis dan dinamis sesuai
dengan tuntunan zamannya, maka tidak menutup kemungkinan (pasti) bermunculan
“masalah baru” yang hampir tidak terjawab oleh hukum fiqih. Namun dengan
keluasan dan keluwesan hukum Islam, saya, kamu, kita semua yakin Islam yang
mampu menjawabnya, oleh karenanya harus muncul pakar-pakar Islam yang mampu
menguak mutiara dibalik nash-nash tersebut dan mengaplikasikannya sehingga
kefleksibelan, kelenturan, kesempurnaan yang luas dan luwes dari hukum Islam
menjadi terangkat.
Jadi yang dihadapi teman saya tadi,
kalau mereferensi dari statemen diatas, maka yang harus dilakukan oleh kita
adalah optimis, dengan mengatakan bahwa Islam sanggup menghadapi, menjawab dan
mengantisipasi “masalah baru” sejalan dengan masanya dan sesuai dengan
kondisinya. Tapi mampukah kita?
Seorang teman saya pernah berargumen
bahwa hukum Islam itu keras, terlalu memaksa dan sebagainya (yang penting
mereka kurang bisa menerima) yang menurut mereka otoritasnya tinggi.
Perkataan teman saya tadi membuat
saya bertanya-tanya, barangkali mereka yang berargumen seperti itu adalah orang
yang kurang mendalami Islam? Ataukah ini hanya fanatisme saya terhadap Islam
terlalu tinggi? Menanggapi masalah ini sebaiknya kita lihat faktor keluasan dan
keluwesan hukum Islam, sebagaimana yang saya sebutkan. Kalau memang dibilang
memaksa, mungkin teman saya harus melihat sekali lagi bagaimana Islam dalam
mempertimbangkan keadaan darurat dan situasi khusus serta besarnya ruang
kemaafan yang dimiliki Islam. Dengan ini semua problematika kita akan bisa
terselesaikan, dan Islam adalah jawabannya.
Posting Komentar