Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

ASAS KESESUAIAN

Rabu, 02 Januari 20130 comments



Oleh: Muhammad Abu Nadlir S.Th.I

Suatu malam di sebuah Mushola, teman saya pernah berkata dengan gaya bicara yang serius “aku takut nanti bila terjun di masyarakat, lihatlah sekarang banyak teman-teman sebaya yang serampangan dalam melihat agama”.
            Rasa pesimis yang diderita teman saya ini memang cukup beralasan, mengingat perkembangan zaman yang semakin cepat dan mengglobal ini, yang menuntut juga perkembangan kajian lapangan dari kajian hukum Islam. Sebuah kenyataan, bahwa orang sekarang banyak yang menghadapkan suatu masalah kepada logikanya masing-masing, sesuatu yang tidak ada di dunia ‘logika mania’ pun mereka ada-adakan. Hukum Allah yang paten dan tidak bisa ditawar lagi, sulit mereka terima, hati mereka terlalu sempit untuk menerima sesuatu yang barangkali tidak ma’qul (dicerna akal), atau jangan-jangan pikiran mereka saja yang tidak mampu?
            “Seandainya kamu ditanya tentang shalat, mengapa mesti ada shalat? Toh banyak mereka yang tidak melakukannya dapat hidup dengan bahagia”. Diantara perbincangan tadi, teman saya juga mengungkapkan hal ini sebagaimana telah dialaminya ketika menghadapi teman-temannya yang serampangan dalam mempertanyakan kewajiban agama ini. Dia pernah dipojokkan dengan persoalan duniawi, dimana shalat dikaitkan dengannya. Mereka tidak ingat bahwa dibalik gebyar kenikmatan dunia ada kenikmatan yang hakiki, kenikmatan batin yang tidak dapat didapatkan kecuali oleh orang-orang tertentu.
 Ketentuan inilah yang harus mereka raih terlebih dahulu sehingga mereka pun bisa merasakannya. Bukankah dengan keseimbangan antara jiwa dan materi teramat kuat dalam Islam? Begitu pula antara dunia dan akhirat. Mereka tidak ingat bahwa diri mereka adalah makhluk; wujud karena adanya Al-Kholiq.
Setinggi-tinggi bangau terbang akan kembali ke sarangnya juga. Dalam perjalanan kembali mereka butuh bekal, peralatan dan persyaratan untuk bisa diterima dengan baik dihadapan-Nya. Di dunia inilah mereka dapat mempersiapkannya. Kalau hal ini sudah tidak mereka sadari, apakah harus “Lana A’maluna wa Lakum A’malukum” (Bagiku apa yang aku kerjakan dan bagimu apa yang kamu kerjakan)? tidak punyakah kita lidah yang ujungnya mampu menyadarkannya? Bukankah itu tugasnya, tugas kita semua, Khalifah di bumi ini.
            Sebaiknya kita berikan pandangan yang berbeda kepada mereka ini, tergantung obyek yang kita hadapi, sebagaimana penentuan hukum karena kefleksibelannya dalam Islam. Kandungan yang terdapat didalamnya, selain yang saya sebutkan tadi, adalah sendi-sendi yang berdiri di atas prinsip akal, penghargaan tinggi terhadap fitrah manusia, memperhitungkan kenyataan yang ada, menegakkan keadilan diantara manusia tanpa pilih kasih, menyajikan hal-hal yang menguntungkan dan kebaikan serta menolak yang merugikan dan keburukan semampunya. Bukankah faktor-faktor kefleksibelan dan keelastisan hukum Islam mampu menjawabnya.
            Begitu pula dalam penentuan hukum yang tidak ada naskahnya, itu memang disengaja untuk memberi ruang gerak kepada Mujtahid untuk menentukan yang lebih “ashlah” untuk manusia pada zamannya. Adapun nash-nash agama, yang kaitannya dengan permasalahan tersebut, bukanlah menjadi pengekang bagi perjalanan aktifitas umat Islam dan peradaban Islam. Nash itu adalah menara, pedoman dan juga petunjuk jalan, pelita kalbu perjalanan. Dinding pemisah antara yang haq dan bathil. Jadi masalahnya adalah bagaimana membantu mereka menangkap sinyal tersebut.
            Diutusnya Rasul terakhir, Muhammad SAW dan tidak adanya utusan sesudahnya, sudah memberi gambaran bahwa Islam yang diembannya merupakan agama yang berdinamika tinggi, menjamin kemampuannya untuk dapat menampung serta menjawab permasalahan yang komplek sekalipun dan yang timbul akibat perkembangan masyarakat dan zaman yang dialaminya, sholih li kulli makan wa zaman.
            Karena Islam berada pada masyarakat yang komplek, berada pada masa perkembangan yang realistis dan dinamis sesuai dengan tuntunan zamannya, maka tidak menutup kemungkinan (pasti) bermunculan “masalah baru” yang hampir tidak terjawab oleh hukum fiqih. Namun dengan keluasan dan keluwesan hukum Islam, saya, kamu, kita semua yakin Islam yang mampu menjawabnya, oleh karenanya harus muncul pakar-pakar Islam yang mampu menguak mutiara dibalik nash-nash tersebut dan mengaplikasikannya sehingga kefleksibelan, kelenturan, kesempurnaan yang luas dan luwes dari hukum Islam menjadi terangkat.      
            Jadi yang dihadapi teman saya tadi, kalau mereferensi dari statemen diatas, maka yang harus dilakukan oleh kita adalah optimis, dengan mengatakan bahwa Islam sanggup menghadapi, menjawab dan mengantisipasi “masalah baru” sejalan dengan masanya dan sesuai dengan kondisinya. Tapi mampukah kita?
            Seorang teman saya pernah berargumen bahwa hukum Islam itu keras, terlalu memaksa dan sebagainya (yang penting mereka kurang bisa menerima) yang menurut mereka otoritasnya tinggi.
            Perkataan teman saya tadi membuat saya bertanya-tanya, barangkali mereka yang berargumen seperti itu adalah orang yang kurang mendalami Islam? Ataukah ini hanya fanatisme saya terhadap Islam terlalu tinggi? Menanggapi masalah ini sebaiknya kita lihat faktor keluasan dan keluwesan hukum Islam, sebagaimana yang saya sebutkan. Kalau memang dibilang memaksa, mungkin teman saya harus melihat sekali lagi bagaimana Islam dalam mempertimbangkan keadaan darurat dan situasi khusus serta besarnya ruang kemaafan yang dimiliki Islam. Dengan ini semua problematika kita akan bisa terselesaikan, dan Islam adalah jawabannya.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger