Muhammad Iqbal penyair,
pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot,
Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1873. Keluarga
Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir
yang telah memeluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan
menjadi penganut agama Islam yang taat. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang
sufi yang saleh dan terhormat.
Iqbal kecil sudah sangat akrab
dengan Islam sejak dini. Pelajaran agama islam selain didapat dari oarangtuanya
juga dari gurunya Mir Hassan. Selain mengaji, oleh gurunya ia juga belajar
menggubah sajak. Iqbal mendapatkan
pendidikan formalnya di sekolah Scottish College Mission School, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Government
College dan memperoleh gelar sarjana muda (BA) pada 1897 lalu pada tahun
1905 ia memperoleh gelar MA di bidang filsafat.
Di perguruan tinggi itulah ia berkenalan dengan seorang
guru besar bernama Thomas Arnold yang banyak membentuk jiwa filosofisnya. Ia
menyarankan Iqbal untuk mengambil program doktoralnya di london. Dalam waktu satu tahun, program itu
dapat diselesaikannya di Universitas Cambridge di bawah promotor Mc.Taggart. Atas saran
gurunya itu, Iqbal mendalami filsafat di jerman dan untuk kedua kalinya mendapat
gelar doktor dengan disertai berjudul the development of metaphysics in Persia
dari Universitas Munich. Selesai studi di luar negeri, ia kembali mengambil
program studi keadvokatan. Sekan tidak pernah puas dengan ilmu ia kembali lagi
kuliah di School Of Political Science.
Iqbal kembali ke Pakistan pada tahun 1908. Dia
berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan penyair sekaligus.
Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati. Ia berpendapat
bahwa kemunduran ummat Islam selama lima
ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Di masa Pakistan
inilah bukunya banyak dihasilkan.
Pemikiran
Iqbal tentang Islam
Iqbal pernah Mengatakan “exert with a view to form an
independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam
membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau
dipandang baik hadist maupun al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad
tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan
ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan
dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap
permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat
(mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi
ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :
Pertama, Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan
yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja. Kedua, Otoritas
relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab. Ketiga,
Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus
tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.
Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang
pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati
diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah
dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar
dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut
Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat
menghargai pandangan dinamis.
Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam
selama lima
ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi
konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak
berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya
menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja
ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini
dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini
hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang
selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga
faktor
Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab
disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al - Qur’an.Oleh karena
itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada
imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan
diam. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya
kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis.
Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.
Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut
pada tahun 1258 H kota
pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan
Hulagu Khan. Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi
itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk
menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam
menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia
Islam.
Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan
menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan
zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap
mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan
pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan
nilai dasar hukum Islam.
Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan
ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern,
menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab
tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling
tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem
hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam.
Posting Komentar