Oleh: Muhammad Abu Nadlir
Mereka berlomba-lomba untuk sebisa mungkin event Ramadlan ini sebagai ajang perekutan massa, berbagai cara digunakan untuk tercapainya massa yang banyak, mulai dari buka puasa gratis, piagam perhargaan bagi yang mengikuti dan ada juga yang menyediakan doorprize bagi peserta yang beruntung. Tidak tanggung-tanggung untuk tercapainya tujuan tersebut, mereka sampai banting tulang mencari dana, baik dari donator maupun dana bantingan dari panitia dan juga saling curi-mencuri massa.
Kegiatan seperti di atas sah-sah saja, tapi bila event Ramadlan hanya untuk perekutan, cukup datang, mengisi formulir, ikut ceremonial, buka puasa dan pulang. Maka semua itu tidak bisa mendatangkan manfaat yang besar bagi para mahasiswa baru.
Sebaiknya acaranya di atas dimasuki juga kegiatan ataupun wawasan sosial keRamadlanan. Karena empati sosial itu bisa menyuburkan kesadaran untuk membantu mengatasi kondisi lingkungan sekitar yang makin timpang, seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, dan diskriminasi. Dan inilah makna sesungguhnya dari dimensi sosial puasa.
Kesenjangan sosial bisa diatasi melalui kesadaran. Kesadaran itu bisa ditumbuhkan di Bulan Ramadan, dengan memaknai puasa bukan sekadar ibadah yang hanya berelasi vertikal, legal-formal, atau berorientasi pada pemenuhan kewajiban saja.
Puasa harus lebih dimaknai sebagai ibadah yang berelasi sosial, horisontal. Apalagi banyak pesan sosial dalam ibadah wajib ini. Antara lain memiliki rasa empati terhadap orang lain, mengikis egoisme, terbuka dan toleran, serta memupuk perdamaian.
Jika sikap terbuka, toleran, dan saling menghormati telah menjadi keutamaan sikap kita, perdamaian akan menjadi realitas yang melingkupi kehidupan. Ramadan adalah momen tepat untuk mengawali perdamaian: menjauhkan sikap rasial, egoisme, dan bertindak eksklusif.
Dengan kegiatan atau wawasan ini mahasiswa baru akan terpupuk rasa tanggung jawab terhadap kondisi lingkungan sekitar. Karena berpangku tangan adalah sikap pecundang,
Posting Komentar