Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

LEGITIMASI POLITIK AGAMA DALAM KAMPANYE

Kamis, 19 November 20090 comments

Oleh: Muhammad abu Nadlir

Menjelang pelaksanaan pemilu, suhu politik cenderung memanas, karena setiap kontestan pemilu secara praktis berupaya mempengaruji masyarakat agar peduli dan simpati terhadap program-program politiknya. Dalam kampanyenya mereka menggunakan upaya legitimasi dan sentimen politik yang berbasis pada ideologi, budaya dan bahkan agama.

Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat indonesia telah menjadi legitimasi yang paling efektif. Isu-isu keagamaan telah menjadi daya yang sangat kuat untuk memompa dan mengobarkan sentimen politik massa. Misalnya yang terjadi pada agama Islam; partai-partai politik berusaha mendapatkan legitimasi dan dukungan untuk partainya dengan cara mendatangi para kiyai (ulama’) dan ke pesantren-pesantren, dengan harapan bahwa kedatangannya kan membawa “kantong-kantong” kekuatan Islam yang bisa membantu dan memperkuat massanya sebagai tujuan tercapainya sukses pemilu.

Legitimasi agama dalam kampanye ini akhirnya memaksa agama masuk dalam politik yang sarat dengan sentimen dan kepentingan. Agama hanya sebagai “justifikasi” politik guna tercapai cita-cita partai politik. Agama hanya berfungsi sebagai “komoditaf” parpol dan keberadaannya diperhatikan manakala mampu memberikan akses dan keuntungan bagi kepentingan politiknya.

Agama memang mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Apalagi masyarakat Indonesia sudah jauh “mengadopsi” berbagai nilai dan ajaran agama sebagai jati diri kehidupan mereka, sehingga bentuk masyarakat Indonesia nyaris identik dengan struktur masyarakat yang dikehendaki agama.

Dalam struktur masyarakat yang demikian, berbagai isu keagamaan senantiasa menjadi sangat menarik, aktual dan selalu mendapat simpati masyarakat. Dalam kaitan inilah para aktivis parpol melihat wilayah agama sebagai lahan sangat potensial bagi legitimasi politik. Selanjutnya parpol masuk dalam arena wacana keagamaan dan membawanya ke dalam spekulasi permainan politik praktis. Eksistensi agama lebih “didayagunakan” untuk mengorbankan sentimen politik massa. Terobosan ini memang merupakan langkah politik yang sangat efektif dan jitu dalam masyarakat yang masih mendukung agama sebagai institusi yang “formalitas”.

Berbagai tema politik yang dicanangkan harus bisa menyentuh uamat beragama. Dengan cara ini unat beragama akan simpatik dengan berbagai tema dan rencana politik yang ada.

Upaya penggiringan massa berhasil, maka parpol selalu melibatkan tokoh-tokoh agama sebagai legitimasinya, sehingga banyak tokoh agama baik itu dari para kyai, pastur dan para tokoh agama lainnya yang ikut masuk dalam arena permainan politik dengan memberikan berbagai legitimasi politik yang bersifat “teologis”. Realitas seperti ini seakan telah menjadi sebuah kewajaran disaat menjelang pemilu, sehingga tidak aneh banyak tokoh-tokoh agama yang memproklamirkan dirinya sebagai pendukung partai politik tertentu.

Tokoh-tokoh agama ini dalam memberikan dukungan politik sering menggunakan media “fatwa” yang cocok dengan program salah satu partai yang didukungnya.

Kesemuanya ini hanya akan menunjukkan bahwa agama hanyalah sebagai “komoditas” politik dan secara faktual hal ini sebenarnya sangat merugikan, karena umat beragama akan terjadi terkotak-kotak berdasarkan aliansi politik partainya.

Untuk keluar dan mencari solusi dari permasalahan diatas, hendaknya umat beragama harus melakukan perombakan orientasi politiknya dari orientasi yang bersifat pragmatis dan formalistis kepada orientasi yang lebih transformatif dan membebaskan. Karena bila masih pragmatis maka akan merugikan dan mengelabuhi umat beragama.

Berangkat dari upaya ini, maka institusi dan formalisasi politik yang diperjuangkan umat beragama hendaknya dirombak dan dialihkan pada strategi politik yang bernuansa transformati dimana ajaran agama dijadikan sebagai “basis nilai”, landasan etik dan moral dalam menjalankan praktek politiknya. Komitmen moral ini harus bertumpu pada upaya pembentukan struktur masyarakat yang adil, egaliter dan demokratis dengan selalu memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan ini pula diharapkan umat beragama tidak mudah tertarik dan terkontaminasi oleh model permainan politik yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama, dimana wilayah politik identik dengan permusuhan yang cenderung menghalalkan segala cara. Akhirnya, umat beragama akan lebih leluasa menjalankan peran-peran politiknya dan juga tidak mudah terjebak lagi oleh pilihan politik yang bernuansa pragmatis dan berdimensi temporal. Sehingga eksistensi kekuatan agama tidak sekedar menjadi pusat legitimasi bagi komoditas kepentingan politik semata.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger