Oleh: Muhammad Abu Nadlir
Dalam sebuah seminar internasional di Jerman, yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) yang bertema “Agama dan Pendidikan”, pada pertengahan Maret 2010, beberapa utusan dari negara-negara bekas Uni Soviet mengusulkan sebaiknya agama masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Negara itu antara lain Rusia, Belarusia, Slovenia, Kyrgistan, dan Ukraina. Adapun alasan utama yang mendasari usulan mereka adalah bahwa agama merupakan bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Kita tidak mungkin membicarakan manusia tanpa agama.
Yang menarik adalah bahwa pendapat semacam itu dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir dari negara-negara yang memiliki latar belakang ateistik. Hal ini sungguh mengejutkan mengingat negara-negara itu memandang peran agama tidak terlalu signifikan. Namun pada kenyataannya, mereka masih mempertimbangkan agar agama masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
Apa yang dipermasalahkan pada seminar internasional di Jerman itu bukanlah hal yang luar biasa, karena pemerintah Indonesia telah berusaha keras menyajikan yang terbaik bagi bangsa. Studi komparatif, “yurisprudensi” pendidikan, lokakarya, seminar pendidikan, trial and eror, serta manuver lainnya telah digunakan pemerintah sebagai ajang untuk membuat konsep serta mematangkan sebuah sistem pendidikan yang relevan sekaligus multiguna, dimana output yang dihasilkan sesuai dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia, yakni untuk mencerdaskan bangsa.
Semua itu coba dibuktikan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan penyempurnaan atau pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Adapun fungsi dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah sesuai dengan UU Sisdiknas tersebut adalah “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab”.
Memang munculnya setiap undang-undang baru tidak terlepas dari berbagai kepentingan kelompok, baik itu berupa suatu upaya penanaman ideologi-ideologi tertentu hingga indoktrinasi. Perdebatan yang sangat ramai sebelum palu diketok pada 10 Juni 2003 adalah tentang pendidikan agama yang tercantum pada draf RUU pasal 13 (huruf a) yang menyebutkan, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Persoalan yang kemudian muncul pada saat itu menjadi bercabang dengan munculnya ide penambahan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, tidak perlu memakai guru seagama sampai pada menghapuskan pendidikan agama itu sendiri. Inilah yang memicu timbulnya pro-kontra terhadap UU ini.
Agama tidak akan bisa dipisahkan dari pendidikan yang dikonsumsi masyarakat. Secara mudah, tengoklah sila pertama Pancasila bertendensikan pada sebuah Teologi (akidah), selain mayoritas warga negara Indonesia memang beragama. Alhasil, sudah mutlak tampaknya bagi bangsa Indonesia untuk mewajibkan konsep pendidikan agama dalam setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut pendidikan.
Sehubungan dengan itu, polemik tentang konsep pendidikan agama yang tercantum dalam UU Sisdiknas tersebut otomatis harus mempunyai kejelasan dan nilai seimbang dengan pendidikan lainnya. Realitasnya, sejalan dengan berlakunya UU Sisdiknas yang dilanjutkan dengan penerapan metode Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), prioritas pengajaran pendidikan agama hanya diberikan waktu kurang-lebih 20% dari seluruh mata pelajaran. Proses pembelajaran dari kurikulum yang telah dibuat tidak menyediakan konsep yang tepat untuk diaplikasikan bagi sekolah, terutama sekolah yang berlandaskan agama.
Akibatnya konsep baku dari pemerintah mulai dirasa “memberangus” sedikit demi sedikit disiplin agama di berbagai sekolah agama. Tak urung siswa hanya mengejar standar nilai pelajaran khusus—yang pada Buku Pedoman KBK disebut dengan Benchmarking; suatu penilaian terhadap proses dan hasil untuk menuju suatu keunggulan yang memuaskan. Ukuran keunggulan dapat ditentukan di tingkat sekolah, daerah, atau nasional.
Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan sehingga siswa dapat mencapai suatu tahap keunggulan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan usaha dan keuletannya. Nilai unggulan itu terbatas pada beberapa mata pelajaran. Alhasil, tidak salah bagi sebuah sekolah agama untuk melakukan apa saja demi tercapainya hal tersebut termasuk dalam hal ini “memperbudak” siswa sebagai robot tanpa jiwa dan memasung daya eksplorasi siswa. Sedangkan nilai pendidikan agama semakin tidak punya tempat padahal prinsip utama pendidikan nasional yang telah ditentukan Undang-Undang, adalah Keimanan, Nilai dan Budi pekerti Luhur. Semua itu tidak akan terbentuk kecuali lewat pendidikan agama.
Aplikasi keilmuan pun hanya bersifat pengetahuan umum, ditambah konsep dari pemerintah yang tidak menyertakan konsep praktik keagamaan pada masyarakat. UU Sisdiknas dengan paket KBK-nya sangat tidak menguntungkan bagi upaya menumbuhkan nilai-nilai Iman dan Takwa (IMTAK) tetapi hanya berfokus pada pokok kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan memasung agama dan “memperbudak” siswa.
Jika kita menelaah secara bersama penerapan KBK, dimana UU Sisdiknas tidak mampu dilaksanakan melalui kurikulum itu—baik karena ketidakmampuan atau kesalahan sistem yang ada—lantas bagaimanakah dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sekarang digunakan? Berjalankah UU Nomor 20 Tahun 2003 dengan KTSP?
Padahal KTSP adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh tiap-tiap satuan pendidikan di Indonesia. Selain itu, secara yuridis KTSP juga diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Bagi penulis, kurikulum apa pun yang dipatenkan secara nasional oleh pemerintah, maka “wajib” bagi pemerintah untuk tidak memasung agama. Karena lewat agama, nurani dan akhlak atau budi pekerti dibentuk sebagai modal kualitas warga negara yang mengabdi pada nusa, bangsa, dan agama.
Penulis adalah Peraih Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan Nasional dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi Publik Universitas Diponegoro Semarang.
Tulisan ini di muat di Harian Pelita Hari Selasa 22 Februari 2011
Posting Komentar