Berlogika Androgini,
Rabu, 27 Oktober 20100 comments
SERING kali kita lihat orang tua memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda sewaktu masih kanak-kanak. Permainan yang diberikan pada anak laki-laki yang bersifat mekanik, seperti mobil-mobilan, mainan pesawat terbang, pedang-pedangan, pistol-pistolan, robot-robotan dan lain-lain. Untuk anak perempuan bersifat kerumahtanggaan, seperti boneka dan berbagai mainan alat-alat rumah tangga. Ketika menginjak dewasa, anak laki-laki mempunyai kebebasan berekspresi dan mandiri dengan dunia luar. Anak perempuan hanya mempunyai kebebasan berekspresi dengan dunia rumah tangga. Ini dibuktikan dengan anak perempuan lebih difokuskan dapur dan merawat orang tua, anak laki-laki membantu pembiayaan rumah tangga.
Dari sini bisa diketahui orang tua dapat menerima jika anak laki-laki lebih bersifat agresif. Namun, anak perempuan agresivitas tidak diterima. Orang tua lebih melatih anak laki-laki mandiri, tapi tuntutan mandiri tidak begitu ditonjolkan pada anak perempuan. Inilah apa yang dikatakan gender sebagai sebuah “pemaksaan” maskulinitas terhadap laki-laki dan feminitas terhadap perempuan. Maskulinitas yang berkaitan dengan kebebasan, kemandirian atau cenderung individualistis atau agentic orientation (pemusatan pada diri sendiri). Sedang feminitas dikaitkan dengan orientasi ekspresif, memberikan afeksi terhadap orang lain (communal orientation) dan lebih merasa senang dalam kehidupan kelompok.
Di Indonesia, anak perempuan diharapkan lebih mencintai orang tua dan keluarga. Dalam arti lebih mempunyai unsur-unsur merawat, memelihara, bertanggung jawab terhadap rumah tangga dan keluarga. Anak laki-laki diharapkan mandiri dalam arti mencari dan mendapatkan pekerjaan.
Contoh lain, dalam sistem buruh dan mandor. Bila dilihat baik di pabrik rokok maupun di perkebunan teh. Buruh itu perempuan dan mandor laki-laki. Ini yang memberikan konsep pada masyarakat bahwa kemandirian hanya bagi maskulin.
Melihat tuntutan dunia yang makin beragam, perlukah logika peran jenis maskulinitas dan feminitas dipertahankan? Meskikah maskulinitas dan feminitas selama ini dijadikan sebagai dasar dalam kehidupan sosial masyarakat?
Androgini sebagai Solusi
Androgini adalah suatu sifat kala maskulinitas maupun feminitas dalam arti baik menonjol pada diri seseorang. Artinya, jika individu mempunyai sifat feminin dan maskulin sekaligus, individu itu disebut memiliki sifat androgini. Kaplan dan Bean (1976) mengatakan, androgini mampu melakukan integrasi sifat-sifat feminin dan maskulin. Misal, tegas dan menyerah, dependen dan independen, ekspresif dan instrumental.
Ini mengingat ketika feminitas dan maskulinitas itu terlalu tinggi, sikap feminitas tinggi bisa menyebabkan dependensi tinggi dan tidak punya kepercayaan diri. Sifat maskulinitas ekstrem dapat menyebabkan kesombongan dan eksploitasi terhadap orang lain. Maka androgini di sini berusaha memberikan jembatan agar feminitas dan maskulinitas pada individu dapat berfungsi secara sehat dan efektif dan dalam keadaan seimbang.
Apabila kedua sifat itu dimiliki sekaligus oleh seseorang, akan menghasilkan sikap positif. Bukan hanya rasional juga ada pengertian terhadap orang yang dihadapi. Bukan hanya berorientasi pada diri sendiri, juga berorientasi ke luar. Bukan hanya pintar dalam mengadakan sesuatu yang baru, juga pintar memelihara dan merawat.
Ini juga sesuai apa yang dikatakan Maccoby (1975), orang-orang maskulin dan androgini akan lebih mandiri terhadap tekanan-tekanan sosial. Namun, seorang laki-laki yang feminin akan menunjukkan kemandirian rendah.
Relevansi Masa Depan
Sekarang dan akan datang telah menunjukkan tanda-tanda makin meningkatnya persaingan di dalam berbagai bidang kehidupan. Persaingan itu menuntut setiap individu mempunyai sifat-sifat mandiri, mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru, mampu menyelesaikan permasalahan kritis secara efisien dan efektif dan lain-lain. Salah satu tanda adalah dinamika tinggi. Melihat ini, sebagai masyarakat sosial kita dituntut mampu menyesuaikan diri dengan baik dan cepat. Salah satu cara, melatih pada diri sendiri terutama generasi muda dan anak-anak dengan praktik peran jenis androgini dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan suatu masalah bila anak laki-laki ingin bermain boneka atau mainan alat-alat rumah tangga. Anak perempuan bermainan pistol-pistolan, robot-robotan atau sejenisnya. Yang paling penting, ada bimbingan dan arahan bahwa mainan-mainan itu hanya bentuk melatih sifat kemandirian mereka secara wajar dan seimbang. Ini bukan berarti mengaburkan kenyataan akan jenis kelamin. Tetap sebagai orang tua harus memberi tekanan, yang laki-laki adalah laki-laki. Yang perempuan adalah perempuan (secara biologis). Karena itu, harus seimbang dan proporsional dengan memerhatikan jenis kelamin mereka. Dalam arti, anak laki-laki perlu mendapatkan stimulus lebih menonjolkan kelaki-lakian. Lalu, anak perempuan sedikit lebih banyak mendapatkan stimulus atau latihan bersifat feminin.
Bila masyarakat sudah menerima, mengaplikasikan dan sampai membudayakan konsep ini, masyarakat tidak akan memandang feminitas dan maskulinitas dari jenis kelamin. Akhirnya, peran jenis androgini yang akan menonjol.
Muhammad Abu Nadlir
Pemerhati Gender Magister Administrasi Publik Program Studi Pendidikan Universitas Diponegoro Semarang .
Tulisan ini di muat di http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?berita=147382&pagecomment=1&rubrik=Opini
Labels:
publikasi media,
sosial
Posting Komentar