MIS-MATCH DUNIA PENDIDIKAN
Sabtu, 02 April 20110 comments
Muhammad Abu Nadlir*
Dimuat oleh Opini Koran Wawasan, 02 April 2011.
Barangkali inilah salah satu kekecewaan. Melihat jumlah pengangguran terdidik setiap tahun semakin meningkat. Terutama dari kaum terpelajar. Bisa kita amati bersama ketika bekal ijazah makin tidak laku di pasar tenaga kerja. Gelar akamedik seakan tak mampu lagi menopang nasib pemiliknya. Begitu juga para sarjanawan pengangguran semakin merebak ke kota dan desa. Itu semua teramat sering ditemukan di sekitar kita. Entah apa yang salah, tapi ini memang fakta.
Apalagi melihat data Depnakertrans yang menyatakan bahwa sampai saat ini masih terdapat jumlah pengangguran dari lulusan diploma sekitar 510 ribu orang dan jumlah pengangguran lulusan dari Universitas berjumlah sekitar 600 ribu orang.
Fenomena Mis-match
Dan yang paling sering terkena getahnya adalah lembaga pendidikan. Ia dianggap tidak bisa mencetak lulusan yang siap pakai. Kualitas para lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Mereka tidak memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan bagi rekruitment tenaga kerja. Padahal, seperti apa yang kita pahami bersama, dunia kerja begitu cepat berkembang. Persyaratan tenaga kerja selalu naik dari waktu ke waktu. Namun, Lembaga pendidikan tidak bisa memantau kenaikan-kenaikan itu. Akibatnya adalah, munculnya mis-match yang lebar antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja. Yaitu ketidaksesuaian antara output lembaga pendidikan dengan input yang dituntut oleh dunia kerja.
Ketidaksesuaian itu misalnya terlihat manakala sekelompok lulusan sekolah atau mahasiswa baru saja lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Mereka bingung mencari pekerjaan. Beberapa iklan lowongan kerja yang dimuat koran sama sekali tidak menyentuh kualifikasi yang mereka miliki. Kemudian arus pun kemudian berbalik. Mereka kembali mencari ilmu tambahan. Walaupun tidak seluruhnya, tetapi amat banyak diantara mereka yang kemudian mengikuti kursus pendidikan praktis. Sebutlah, kursus komputer, bahasa inggris, manajemen, entrepeneurship, jurnalistik, akuntansi dan lian-lain. Alasannya, kursus-kursus semacam itu dianggap lebih laku, lebih marketable dari pada kualifikasi sarjana yang disandangnya itu.
Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pengangguran di Indonesia hingga Agustus 2009 tercatat sebanyak 8,96 juta orang atau 7,87 persen. Angka itu menurun dibanding Februari 2009 yang sebanyak 9,26 juta orang (8,14 persen), maupun dibandingkan Agustus 2008 yang sebanyak 9,39 juta orang (8,39 persen).
Sedangkan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 113,83 juta orang, bertambah 90 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,74 juta orang atau bertambah 1,88 juta orang dibanding Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang.
Pendidikan Nilai Tambah
Lembaga pendidikan, memang bukan pabrik. Dan tujuan seseorang kuliah atau mencari ilmu secara keseluruhan adalah untuk mempertinggi produktifitas dirinya. Apapun itu disiplin ilmu yang ditekuni. Baik itu sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu humaniora. Tetapi bila mengibaratkannya dengan pabrik. Maka Lembaga pendidikan harus menjadi the pabric of a new meaning (Pabrik yang selalu memproduksi nilai-nilai baru). (Giroux, 2000; Price, 2001)
Lembaga pendidikan hendaklah mencari “nilai tambah” kepada produk sumber daya manusia yang dikelolanya. Baik dalam sikap, wawasan, kecerdasan, ketrampilan, ataupun keahlian.
Namun, dalam prakteknya, tujuan ini akan mengalami kesulitan. Buktinya, bila kita menoleh kembali pada mereka para penganggur “terdidik”. Rasanya tidaka ada jaminan mereka lalu menjadi lebih produktif dan bernilai tambah. Yang akan terjadi malah sebaliknya, tidak jarang perkembangan mereka menjadi paralel dengan pertumbuhan penganggur. Artinya, pendidikan mereka yang tinggi itu tidak dengan sendirinya membuka akses ke dunia kerja. Sehingga, seringkali tingginya pendidikan mereka itu lalu hanya berarti besarnya inefisiensi, pemborosan dan ketidak produktivitasan dirinya.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, tentu harus ada konsistensi dalam perencanaan pembangunan lintas sektor. Dalam hal ini adalah antara Lembaga pendidikan dengan dunia kerja. Dan fenomena mis-match juga harus segera diakhiri. Bila hal itu tidak segera diakhiri, maka titik temu antara output Lembaga pendidikan dengan input yang dituntut dunia kerja akan sulit terwujud.
Namun, bila Lembaga pendidikan hanya menunggu dibuatkan, disahkan dan diturunkannya kebijakan-kebijakan makro seperti itu, mungkin terlalu berlalu lama. Selama masih bertujuan positif, tidak ada salahnya Lembaga pendidikan lebih bersikap luwes dan pragmatis (baca: bukan pragmatisme). Oleh karena itu, Lembaga pendidikan hendaknya bertindak cepat sekaligus orientatif terhadap siswa/siswi/mahasiswa/mahasiswi didikannya. Lembaga pendidikan mampu memantau perkembangan dunia kerja atau bisa bekerjasama dengannya.
Dengan harapan, Lembaga pendidikan mampu berperan dalam membantu mahasiswanya mengarahkan dan mendampingi jenis pendidikan tambahan sebagai bekal pascakelulusannya nanti dan juga menghadapi tuntutan dunia kerja.
Selain solusi adanya kesepahaman antara dunia pendidikan dengan dunia kerja tentang permasalahan output dan input yang diinginkan. Menurut penulis, solusi lain dan hal ini sangat perlu sebagai koreksi dan introspeksi bersama, bahwa sudah saatnya pendidikan Indonesia untuk bergeser pada pilihan strategi pembangunan sumber daya manusia ke arah pengembangan insan kreatif. Dengan manusia-manusia kreatif ini, diharapkan mampu menjadi penopang berkembangnya industri kreatif. Dan tidak lain yang dibutuhkan adalah filsafat pendidikan progresif-eksistensialis. Karena dengan basis filsafat ini, pendidikan akan lebih mampu mengakomodasi dan mengelaborasi potensi setiap individu melalui praksis pendidikan kreatif, baik berupa real experience maupun produc development.
Dari dua solusi di atas, menurut penulis bisa dijalankan kedua-duanya atau memilih salah satu saja. Semua tergantung kemampuan Lembaga pendidikan masing-masing. Karena menurut penulis pendidikan akan dikatakan sukses atau tidaknya, dinilai dari sejauh mana dunia pendidikan –dalam hal ini Lembaga pendidikan - mampu melihat dan menindaklanjuti perubahan kebutuhan belajar para siswa/siswi maupun mahasiswa/mahasiswi dan perubahan kebutuhan kemajuan masyarakat di zamannya.
*Penulis adalah Mahasiswa Peraih Beasiswa Unggulan Diknas Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Diponegoro Semarang.
Labels:
pendidikan,
publikasi media
Posting Komentar