"..Sukamu adalah dukamu yang dilepas topengnya.
Dan dari sumber yang sama, tawamu seringkali muncul bersama airmatamu.
Dan bagaimana pula itu bisa?
Semakin dalam duka terukir dalam hatimu, semakin banyak suka yang bisa ditampungnya.
Bukankah cawan yang berisi anggurmu adalah cawan yang juga dibakar di tungku tukang tembikar?
Dan bukankah sitar yang menenangkan jiwamu adalah juga kayu yang ditatah dengan pisau?
Ketika kau bersuka, pandanglah hatimu dalam-dalam dan akan kau ketahui bahwa yang telah memberimu duka adalah juga yang memberimu suka.
Jika kau berduka, pandanglah lagi hatimu dalam-dalam, dan kau akan mengetahui bahwa sebenarnya kau menangisi apa yang sebelumnya merupakan sukamu.
..."(Kahlil Gibran, The Prophet, 1923)
Dengarlah seruling bambu menuturkan sebuah kisah
Ia mengadu dan mengeluh tentang perpisahan
Katanya "Sejak aku dipisahkan dari rumpun bambuku,
Ratapanku membuat semua orang merintih merana"
Kuingin dadaku terbelah oleh perpisahan,
Agar bisa ku ungkapkan derita kerinduan cinta.
Setiap orang yang jauh dari sumbernya
Ingin kembali bersatu dengannya seperti semula
Kepada semua sahabat kuutarakan ratapan dan keluhanku.
Aku bergaul dengan mereka yang merana dan bahagia
Semua orang menjadi sahabatku karena pandangannya sendiri.
Tak seorangpun mengorek segenap rahasia
Dalam relung kedalaman kalbu dan jiwaku
Rahasia tak jauh dari keluhanku
Katanya "Sejak aku dipisahkan dari rumpun bambuku,
Ratapanku membuat semua orang merintih merana"
Kuingin dadaku terbelah oleh perpisahan,
Agar bisa ku ungkapkan derita kerinduan cinta.
Setiap orang yang jauh dari sumbernya
Ingin kembali bersatu dengannya seperti semula
Kepada semua sahabat kuutarakan ratapan dan keluhanku.
Semua orang menjadi sahabatku karena pandangannya sendiri.
Tak seorangpun mengorek segenap rahasia
Dalam relung kedalaman kalbu dan jiwaku
Rahasia tak jauh dari keluhanku
Namun telinga dan mata tidak punya cahaya untuk memahaminya
Raga tidak terhijab dari jiwa dan tidak juga jiwa dari raga,
Namun tak seoran
Namun tak seoran
gpun diizinkan melihat jiwa.
(R.A. Nicholson, The Mathnawi of Jalaluddin Rumi, jilid I (London: Lucaz, 1977))
(R.A. Nicholson, The Mathnawi of Jalaluddin Rumi, jilid I (London: Lucaz, 1977))
Pelajarilah Ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah khasyah.
Menuntutnya adalah ibadah, menyerahkan kepada ahlinya adalah Taqarrub.
Mempelajarinya adalah Tasbih, mencarinya adalah Jihad. Mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui adalah Shadaqah.
Ilmu adalah teman dekat dalam kesendirian dan sahabat dalam kesunyian.
– Muadz bin Jabal Radhiyyallahu anhu
Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR.
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'," (Al-Baqarah Ayat : 45)
Sabar menurut Ibnu Mandzur dalam karya monumental, Lisanul 'Arab (2003: 5/266-271) adalah kemampuan menahan diri dari adanya hantaman (cobaan, musibah, dan sebagainya), serta keinginan nafsu.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:973, sabar memiliki muatan makna yang lebih luas: tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu.
Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR.
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'," (Al-Baqarah Ayat : 45)
Sabar menurut Ibnu Mandzur dalam karya monumental, Lisanul 'Arab (2003: 5/266-271) adalah kemampuan menahan diri dari adanya hantaman (cobaan, musibah, dan sebagainya), serta keinginan nafsu.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:973, sabar memiliki muatan makna yang lebih luas: tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu.
...
Dia berkata : "Langit sedih dan terlihat murung."
Kujawab : "Tersenyumlah! Biarlah langit murung."
Dia berkata : "Langit yang dahulu menaungi cintaku kini telah berubah menjadi neraka bagiku karena membiarkanku terpanggang kerinduan. Ia telah mengkhianati janjinya kepadaku sedudah kuserahkan hatiku kepadanya maka bagaimana aku dapat tersenyum?"
Kujawab : "Tersenyumlah dan bersenandunglah. Seandainya engkau tetap merindukannya niscaya engkau akan menghabiskan usiamu dalam penderitaan."
Dia berkata : "Malam-malam yang kulalui meregukkan kepahitan kepadaku."
Kujawab : "Tersenyumlah,sekalipun engkau mereguk kepahitan. Mudah-mudahan orang lain yang melihat engkau bersenandung akan membuang kesedihannya jauh-jauh dan ikut bersenandung."
"Wahai sahabat tercinta, kedua bibirmu tidak akan sumbing karena tersenyum dan wajahmu tidak akan bopeng karena berseri.
Maka tersenyumlah, karena bintang-bintang tertawa ceria sekalipun kegelapan malam bertumpang-tindih. Karena itulah kami mengagumi bintang-bintang."
...
(... dari potongan syair Ilyya Abu Madhi, dalam Laa Tahzan..)
Posting Komentar