Artikel ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 24 April 2012
Muhammad Abu Nadlir
Mahasiswa magister FISIP Undip
Indonesia adalah sebuah negara besar dengan kebinekaan suku, agama, ras,
dan antargolongan. Sayangnya, keberagaman tersebut kadang menyebabkan
pengelompokan-pengelompokan terhadap mereka yang merasa memiliki kesamaan.
Kelompok ini melahirkan berbagai komunitas. Maka dari itu, kemunculan banyak
partai politik (parpol) di Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah realitas
yang sangat bisa dimaklumi.
Setiap parpol secara ideal sesungguhnya merupakan upaya menunjukkan
eksistensi satu atau beberapa kelompok masyarakat. Lebih dari itu, parpol
merupakan sarana atau alat legal untuk memperjuangkan aspirasi, kebutuhan, dan
kepentingan melalui struktur kelembagaan negara.
Karena perbedaan merupakan hukum alam, setiap kelompok politik harus
diberi kesempatan mengekspresikan diri asal berdasarkan aturan permainan.
Mereka harus menempatkan cita-cita dan kepentingan negara di atas segalanya.
Mereka tidak boleh memiliki cita-cita dan garis perjuangan yang kontradiktif
dengan cita-cita dan kepentingan negara, seperti menciptakan masyarakat yang
cerdas, sejahtera, dan berkeadilan. Kepentingan politik yang bersifat sektoral
dan berjangka pendek dalam konteks-konteks tertentu memang tak bisa
dihindarkan, tetapi harus melebur ketika berkontradiksi dengan kepentingan
negara.
Sikap menghindarkan diri dari kepentingan sempit dan berjangka pendek
tak dapat dipisahkan dari kualifikasi politisi, terutama mereka yang
memengaruhi secara langsung kendali kekuasaan. Kapasitas pemikiran, wawasan,
dan pengalaman seseorang akan sangat berpengaruh pada sikap politiknya.
Pemikiran, wawasan, dan pengalaman yang minim cenderung mengantarkan kepada
praktik politik pragmatis yang mendorong adanya transaksi-transaksi politik
yang lebih berbau ekonomis daripada bernuansa intelektual dan ideal. Ini akan
melahirkan sikap politik oportunistis.
Politik di samping didasarkan pada rasionalitas, juga harus diimbangi
dengan hati nurani. Tanpa nurani, politik hanya dikaitkan dengan kalkulasi
untung rugi. Nurani akan menjauhkan politik dari praktik-praktik hanya
berorientasi pada kepentingan dan keuntungan diri atau kelompok sendiri.
Sikap kesatria sangat diperlukan dalam aktivitas politik dan diwujudkan
dalam berbagai kesiapan menerima kemenangan maupun kekalahan. Kemenangan harus
dimaknai sebagai panggilan mewujudkan cita-cita negara lewat struktur
kekuasaan. Sejatinya, kekuasaan adalah panggilan melayani. Menjadi penguasa
adalah kewajiban menjadi pelayan.
Sebaliknya, kekalahan harus diterima sebagai konsekuensi dari
pertarungan yang sehat dan bernalar. Kekalahan bukan ketertutupan. Masih ada
waktu di masa mendatang.
Itulah suksesi yang legal. Itulah alih kekuasaan yang didasarkan pada
rule of the game yang telah disepakati bersama sehingga kompetisi politik
berlangsung adil. Dengan demikian, tidak ada istilah perebutan kekuasaan karena
terminologi itu lebih banyak mengandung unsur atau bernuansa negatif.
Maka dari itu, pandangan sempit atau egosentrisme kelompok harus
dijauhkan. Sebaliknya, kedepankan semangat memperbaiki keadaan negara. Alih
kekuasaan bukan semata-mata mengejar target atau kepentingan kelompok dan
berjangka pendek.
Indonesia masih dibelenggu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pelayanan birokrasi tidak berfungsi secara optimal. Di berbagai wilayah, muncul
konflik sosial dan politik. Masalah-masalah ini berpotensi menimbulkan
keretakan Indonesia dan menganggu upaya menyejahterakan rakyat.
Karena itu, setiap kekuatan politik, baik yang berada di luar maupun di
dalam struktur kekuasaan memiliki tugas bersama untuk menciptakan sistem atau
tata pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN yang merupakan virus paling
berbahaya. KKN dapat meruntuhkan negara karena secara faktual menimbulkan
ketimpangan dalam masyarakat.
Konflik politik maupun kultural telah menimbulkan perpecahan di antara
sesama anak bangsa. Beberapa kasus bahkan telah mewujud dalam bentuk tuntutan
pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau dibiarkan
terus, ini akan memperlemah NKRI. Konflik yang terjadi dalam masyarakat secara
faktual tidak mudah dihilangkan begitu saja.
Perlu waktu yang cukup panjang untuk meminimalisasi dan menghilangkan
konflik. Rekonsiliasi nasional harus terus digalakkan agar tidak muncul lagi
wacana-wacana yang mengarah pada pelemahan NKRI. Keadilan merupakan salah satu
unsur penting dalam upaya membangun rekonsiliasi sebab sesungguhnya penyebab
konflik dan keinginan memisahkan diri ialah karena perlakuan tidak adil.
Contohnya ialah ketidakadilan dalam membagi sumber daya sehingga menyebabkan
ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik.
Ketimpangan ini menyebabkan kecemburuan dan sakit hati yang mengantarkan
pada sikap ekstrem ingin memisahkan diri karena mau mengelola sumber daya yang
dimiliki secara mandiri.
Neoliberalisme dan neokolonialisme juga menjadi ancaman yang sangat
besar. Neoliberalisme telah menyebabkan melemahnya fungsi negara karena
tergerus oleh dominasi perusahaan-perusahaan multinasional, sedangkan
neokolonialisme telah menyebabkan kekayaan negara tidak memberi manfaat kepada
warga negara sendiri karena kekayaan tersebut lebih banyak diserahkan kepada
pihak-pihak asing dalam bentuk kontrak-kontrak karya yang pembagiannya sangat
tidak proporsional.
Untuk
mengakhiri masalah ini, diperlukan pemimpin di segala level struktur negara
yang berjiwa nasionalis kuat dan berkarakter. Mereka hanya akan lahir dalam
sebuah alam politik sehat dan berdasar nurani.
Posting Komentar