Muhammad Abu Nadlir ; Peneliti di Laboratorium FISIP
Universitas
Diponegoro Semarang
(MEDIA
INDONESIA, 12 September 2012)
SEBUAH negara yang dikonstruksikan sebagai nation-state menempatkan diri di atas semua golongan, termasuk
golongan-golongan yang lahir disebabkan perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam
negara-bangsa, setiap individu memiliki posisi yang sama di hadapan negara,
walaupun agama dan kepercayaannya dianut mayoritas warga negara atau
sebaliknya, dianut minoritas mereka. Namun, keidealan itu sering kali dinodai
tindakan-tindakan ekstrem berbentuk kekerasan fisik akibat pandangan bahwa
perbedaan ialah lisensi untuk membinasakan individu atau kelompok lain.
Nabi Muhammad SAW sesungguhnya telah memberikan teladan yang
sangat mengagumkan dalam hal itu. Walaupun berhasil membangun komunitas muslim
yang sangat kuat, karena menjadi kelompok mayoritas dan memiliki kekuatan militer
tak tertandingi, Nabi tetap konsisten dengan kontrak sosial yang dibuat bersama
dengan kelompok-kelompok pemeluk agama lain, di antaranya kalangan Kristen dan
juga Yahudi.
Nabi berhasil membangun sebuah tatanan negara yang di dalamnya
terdapat berbagai kelompok yang berbeda, baik disebabkan suku maupun agama,
tetapi semua dapat hidup secara berdampingan. Itulah yang kemudian membedakan
antara Mekah dan Madinah saat itu.
Mekah memiliki tingkat pluralitas tinggi karena terdapat banyak
suku dan agama di sana. Namun, pluralitas itu tidak ditata dengan baik melalui
kontrak sosial yang baik dan dipatuhi secara konsisten di antara mereka
sehingga yang sering terjadi ialah perang urat saraf dan bahkan juga perang
fisik yang memakan banyak korban.
Itu berbeda dengan masyarakat Madinah (semula bernama Yatsrib)
yang kemudian ditata Nabi, berdasarkan kontrak sosial, sehingga kemudian
menjadi sebuah kota yang aman, tenteram, dan mencapai peradaban yang disebut
sebagian sosiologi melampaui zamannya. Di antara faktor penyebab keberhasilan
bangunan negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi ialah ketegasannya dalam
menegakkan kontrak sosial yang telah dibuat. Itulah sesungguhnya model
bermasyarakat dan bernegara yang seharusnya kita wujudkan sekarang ini.
Jalan Mewujudkan
Untuk mewujudkan keberadaban masyarakat dalam sebuah negara bangsa
yang di dalamnya terdapat keragaman budaya (multikultur), terutama yang
disebabkan perbedaan agama, diperlukan beberapa pandangan konstruktif dan
implementasinya secara konsisten.
Pertama, memandang bahwa
perbedaan ialah fitrah. Tak ada satu kekuatan pun yang dapat menghalangi hadirnya
individu atau kelompok yang berbeda, walaupun minoritas. Dalam konteks itu,
prinsip-prinsip pluralisme menjadi sangat penting. Karena itu, seharusnya
perbedaan tidak menjadi alasan untuk melakukan tindakan kekerasan, tetapi
sebaliknya justru harus dijadikan sebagai alasan untuk saling mengenal (Al-Hujurat: 13) dan menyayangi yang bisa
dilakukan dengan berbagai macam cara.
Kedua, mengakui prinsip
kebebasan dengan segala konsekuensinya. Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi yang dengannya akan
menentukan arah hidup pilihannya. Islam memberikan tuntunan untuk memilih jalan
hidup yang baik. Akan tetapi, Islam sama sekali tak membenarkan paksaan (Al-Baqarah: 256). Dalam konteks itu
pula, Islam memberikan kebebasan untuk memilih beriman atau kafir sekalipun,
tentu saja dengan konsekuensi balasan buruk nanti di akhirat (Al-Kahfi: 29). Alquran juga memberikan
pandangan yang sangat demokratis dalam menentukan pilihan dengan menyatakan,
`Seseorang yang melakukan kebaikan sesungguhnya melakukan kebaikan untuk
dirinya sendiri. Dan barang siapa yang melakukan keburukan, sesungguhnya
konsekuensi keburukan itu atas dirinya sendiri' (Al-Fushshilat: 46).
Ketiga, menghindari
sikap dan perilaku sinkretis. Mengakui eksistensi kelompok lain tidak berarti mengakomodasi
keyakinan mereka sehingga terjadi sinkretisme. Dalam konteks kepercayaan, Islam
sangat simpel dalam memberikan panduan dengan garis tegas `untukmu agamamu dan
untukku aga maku’ (Al-Kafirun: 6).
Nabi sama sekali tak pernah memberi contoh bahwa perbedaan teologis ialah
alasan untuk menyakiti dan melenyapkan nyawa seseorang. Konsekuensi penolakan
terhadap ajakan kepada kebaikan tidak akan dibebankan atas pengajak, tetapi
atas yang menolak ajakan tersebut (Al-Syu’ara:
214).
Keempat, melakukan
dialog konstruktif. Domain agama yang dipraktikkan para penyerunya, bahkan dalam hal
ini berlaku juga pada para utusan Tuhan, hanyalah mengimbau dan mengajak dengan
jalan yang bijak, pesan-pesan yang baik, dan melakukan dialog konstruktif (Al-Nahl: 125). Itulah yang akan membuat
tiap kelompok yang berbeda dalam masyarakat dapat menjalin komunikasi yang
baik. Komunikasi itu tidak sekadar basa-basi jika dilanjutkan dengan kerelaan
untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar keyakinan masing-masing untuk melakukan
sikap dan tindakan yang memiliki nilai fungsional tinggi. Misalnya saja, umat
Islam memiliki keyakinan bahwa makanan berupa daging sembelihan baru berhukum
halal dikonsumsi apabila disembelih dengan menyebut nama Allah.
Prinsip-prinsip seperti itu perlu dimengerti pemeluk agama
non-Islam, demikian juga sebaliknya, agar tidak ada banyak hal yang menjadi
mubazir atau tak berguna. Contoh sederhana, seorang muslim mungkin akan
menerima daging dari tetangganya yang memeluk agama lain, tetapi hanya
didasarkan pada sikap basa-basi agar tidak menyinggung perasaan. Namun, daging
itu kemudian tidak memiliki fungsi karena kemudian tidak dimakan disebabkan
mereka tidak meyakini bahwa hewannya disembelih dengan cara yang dibenarkan
ajaran Islam.
Kelima, kepemimpinan
yang tegas.
Indikator kepemimpinan yang tegas ialah kepemimpinan yang mampu memberikan
perlindungan kepada seluruh warga negara, tanpa pandang bulu dengan melakukan langkah-langkah
antisipatif. Ketika telah nyata-nyata terjadi pelanggaran hukum, para pelanggar
tersebut harus dijatuhi hukuman yang setimpal tanpa adanya keraguan. Itulah
yang dilakukan Nabi terhadap kelompok Yahudi di Madinah. Kalangan Yahudi yang
sebelumnya menjadi bagian integral dalam masyarakat Madinah kemudian diusir,
bukan karena perbedaan agama, melainkan karena mereka mengingkari kesepakatan
dalam Piagam Madinah.
Ketegasan Nabi Muhammad diberlakukan atas kaum Yahudi dari Bani
Qainuqa’ yang mengungkit-ungkit sentimen kesukuan untuk membuat suku Aus dan
Khazraj berkonflik. Yahudi Bani Nadlir juga mendapatkan hukuman karena mereka
berkonspirasi dengan kelompok munafik untuk memerangi Islam. Demikian juga yang
dilakukan atas kalangan Yahudi Bani Quraidhah yang berkonspirasi dengan kaum
musyrikin untuk memerangi Islam dalam Perang Khandaq. Kaum Yahudi yang tersisa
dan kemudian tinggal di Khaibar juga mendapatkan hukuman berat karena melakukan
kesalahan serupa.
Posting Komentar