Artikel ini dimuat di Suara Karya, 15 Oktober 2012
Belajar di sebuah perguruan tinggi telah menjadi harapan setiap siswa-siswi setelah menyelesaikan pendidikan tingkat SMA atau sederajat. Belajar di sebuah perguruan tinggi menjadi impian yang sangat besar bagi setiap individu. Bahkan, tidak sedikit yang melakukan kerja ekstra keras untuk dapat mengikuti dan merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Semua itu dilakukan tidak lain agar bisa sampai ke titik puncak, lulus dan memperoleh julukan 'sarjana'.
Namun, di balik kuantitas sarjana yang semakin meningkat, terdapat sejumlah tanda tanya yang terlintas di pikiran masyarakat. Karena, peningkatan kuantitas sarjana pada zaman sekarang, tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas atau mutu pada setiap individu. Bisa kita amati bersama melalui data BPS yang mencatat bahwa pengangguran di Indonesia tahun 2010 saja sudah mencapai jumlah 8,32 juta orang dan 11,92 persen adalah bergelar sarjana. Lalu, bagaimana bila setiap tahun jumlah sarjana terus meningkat?
Sarjana selama ini menjadi mitos agar bisa meraih penghidupan layak (survival of live). Meraih sarjana tak ubahnya sebagai pemenuhan naluri mempertahankan diri (self preservation drive) daripada naluri ideologis untuk lebih peka terhadap situasi sosial. (Sigmund Freud, 1979: XVII-XX). Sarjana diraih an sich hanya untuk bekerja agar terpenuhi naluri dasar hidupnya kelak (makan, tidur dan berhubungan seks/berkeluarga), bukan untuk mengabdi dan berbakti tentang masa depan masyarakat banyak.
Gelar sarjana yang memiliki amanat sebagai pembelajar, pengembang dan pengabdi keilmuan kepada publik tak begitu tampak di pabrik para sarjana, yaitu kampus. Yang ada, setelah memperoleh gelar sarjana, pertanyaan yang muncul 'kerja di mana?' Dan, pekerjaan apa? Padahal, gelar sarjana yang sebenarnya mengusung tugas menjadikan seseorang yang berintelektual. Karena, masyarakat butuh perubahan. Dan perubahan hadir melalui kalangan intelektual yang mampu berpikir demi kemaslahatan sosial.
Mitos sarjana yang berorientasi hanya untuk meraih uang dan pekerjaan, maka dalam proses meraih gelar sarjana tidak ada niat untuk menjadikan mahasiswa yang peduli sosial. Akhirnya gelar sarjan diraih tanpa adanya proses pembelajaran yang benar untuk menjadikan dirinya sebagai pengabdi masyarakat. Dan, parahnya, akan melahirkan manusia-manusia yang berlogika pragmatis dan hedonis.
Plagiarisme adalah contoh nyata bukti tak terbantahkan betapa orientasi pragmatis berjalan beriringan dalam proses mencetak para sarjana. Bagi mereka yang berpikir pragmatis, yang penting adalah gelar untuk bekerja, bukan gelar untuk belajar dan mengabdi.
Sudah jelas kiranya pokok permasalahan yang ada di Indonesia terkait minimnya kualitas para sarjana adalah dikarenakan orientasi akan gelar sarjana. Gelar sarjana hanya dimaknai pada bagaimana memenuhi kebutuhan hidup untuk kemudian mati sebagai manusia yang tidak pernah merasa kekurangan memenuhi kebutuhan hidup.
Sesungguhnya ada tanggung jawab baru yang harus dipenuhi oleh seorang saraja. Tanggung jawab itu menjadi sebuah keniscayaan karena seseorang dapat memperoleh fasilitas pendidikan (kampus dengan segala fasilitas penunjang) yang mengantarkannya menjadi sarjana bukan semata-mata karena prestasinya saja, tetapi juga karena ada kontribusi yang diberikan oleh - dan sesungguhnya juga pengorbanan - pihak-pihak lain.
Gelar sarjana bisa mereka dapatkan karena pajak rakyat. Pajak itu dipungut dari seluruh warga negara, termasuk para pedagang kecil di pasar-pasar pinggiran. Karena itu, kaum sarjana memiliki kewajiban untuk membalas jasa rakyat yang telah memberikan pajak yang digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan mereka.
Fenomena yang terjadi saat ini, lebih banyak sarjana yang tidak menyadari tanggung jawab itu, karena tidak memahami dengan baik tentang asal muasal biaya pendidikan yang mereka nikmati. Lebih banyak di antara mereka yang berpikir simplistis bahwa mereka dapat memasuki dunia perguruan tinggi karena mereka adalah manusia-manusia terpilih karena prestasi pribadi mereka belaka.
Memprihatinkan
Sudah saatnya pemerintah memberikan orientasi kepada semua elemen akademis dalam hal ini kampus untuk sesegera mungkin mencetak kelompok sarjana intelektual, bukan berpendidikan tinggi. Karena, kelompok intelektual selalu berdialektika dengan segala problem kehidupan, seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, keangkaramurkaan, ketidakpedulian dan seterusnya. Sarjana yang memiliki ghirrah intelektual tak akan pernah menganggur karena banyak hal yang harus dipikirkan dan harus dicarikan jalan keluar olehnya. Semoga sarjana kita masih layak diharapkan aksinya. ***
Penulis adalah dosen STEBank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta dan peneliti The Fatwa Center.
Posting Komentar