Oleh : Muhammad Abu
Nadlir

Merupakan
surat yang sering dibaca Rasulullah SAW ketika shalat hari Raya (Fitri dan
Adha) dan shalat Jum'at. Surat Al-A´laa pada rakaat pertama, dan surat
Al-Ghaasyiyah pada rakaat kedua.
Asbabun Nuzul Surat
Al-A’laa
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani
yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Bahwa Allah menurunkan ayat ini (al-A’laa: 6) sebagai
jaminan bahwa Rasul tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya.
1) Sucikanlah nama Tuhanmu Yang
Maha Tinggi,
2) Yang menciptakan dan
menyempurnakan,
3) Dan yang menentukan kadar serta
memberi petunjuk,
4) Dan yang mengeluarkan
rumput-rumputan,
5) Lalu Dia menjadikannya kering
kehitam-hitaman,
6) Kami akan membacakanmu,
sehingga engkau tidak melupakan(nya),
7) Kecuali apa yang dikehendaki
Allah, sesungguhnya Dia mengetahui yang nyata dan apa yang tersembunyi,
Kosa Kata
Kata Sabbih adalah bentuk perintah dari kata sabbaha yang terambil dari kata sabaha yang berarti menjauh. Seseorang yang berenang dilukiskan dengan kata tersebut
karena pada hakikatnya dengan berenang ia menjauh dari posisinya.
Bertasbih dalam pengertian agama berarti “Menjauhkan
Allah dari segala sifat kekurangan, kejelekan, bahkan dari segala sifat
kesempurnaan yang terbanyak dalam benak”. Dengan mengucap Subhanallah, si pengucap
mengakui bahwa tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna atau
tercela, tidak ada ketetapan-Nya yang tidak adil, baik terhadap orang/makhluk
lain maupun terhadap si pengucap.
Kata Qaddara berasal dari kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar, atau ukuran. Setiap makhluk yang
diciptakan Allah diberi-Nya kadar, ukuran serta batas-batas tertentu dalam diri, sifat dan kemampuan
maksimal.
Kata al-Mar’aa terambil dari kata ra’aa yang pada mulanya berarti memelihata binatang, baik dengan
memberinya pangan maupun dengan melindunginya dari bahaya.
Kata al-Mar’aa diartikan sebagai tempat pemeliharaan binatang, kemudian makna tersebut secara
umum menyempit, menjadi tempat
makan binatang, karena
makanan umum binatang adalah rerumputan, maka makna kata ini pada ayat ini
menggunakan rerumputan.
Kata Ghustaa’an pada mulanya berarti segala sesuatu yang
terpencar/terbengkalai dari tumbuh-tumbuhan atau yang mengapung di laut.
Kata ini kemudian digunakan untuk segala sesuatu yang tidak bermanfaat atau
diremehkan. Dari sini ulama’-ulama’ tafsir memahami arti kata ini sebagai rereumputan yang telah kering.
Kata Ahwaa terambil dari kata hawaa yang pada mulanya berarti sesuatu yang sangat hijau.
Kehijauan yang pekat ini ada yang memahaminya dalam arti sangat subur dan ada pula yang memahaminya sangat hitam atau hangus terbakar.
Pada
ayat ini penulis cenderung memilih pemahaman yang sangat hitam atau hangus terbakar. Loginya adalah
jika kita ingin melihat rumput tersebut subur menghijau maka siramilah, dan
bila kita membiarkannya tanpa pemeliharaan dan diterpa terik matahari, pasti ia
akan mati kering
kehitam-hitaman. Demikianlah takdir Allah SWT menjangkau seluruh makhluknya.
Kata Tansaa (lupa) dipahami oleh banyak ulama’ dalam arti melupakan secara terus-menerus.
Kata al-Jahr biasa diterjemahkan dengan nyata. Dalam bahasa al-Qur’an
kata ini digunakan dalam konteks jelasnya sesuatu menurt alat penglihatan atau
pendengaran.
Kata Yakhfaa (tersembunyi) menggunakan bentuk kata yang
menunjukkan masa kini dan datang. Hal ini menggambarkan bahwa yang tersembunyi
dan diketahui Allah SWT itu bukan sekedar sesuatu yang kini telah ada saja,
tetapi segala rahasia ata yang tersembunyi, baik yang kini telah ada maupun
yang kelak akan ada.
Pesan
Surat Al-A’laa Ayat 1 – 7
1. Surat ini
menjelaskan tentang perintah Allah Allah untuk bertasbih dengan menyebut
nama-Nya.
2. Allah SWT menciptakan,
menyempurnakan ciptaan-Nya, menentukan kadar-kadar kepada ciptaan-Nya, memberi
petunjuk dan melengkapi keperluan-keperluan dari ciptaan-Nya sehingga tercapai
tujuan mereka.
3. Nabi Muhammad
SAW sekali-kali tidak akan lupa pada ayat-ayat yang dibacakan kepadanya.
Posting Komentar