Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

Pluralisme in Action

Jumat, 26 Juni 20150 comments

Membincang pluralisme saat ini bisa jadi usang. Puluhan buku dan ratusan artikel telah mengupasnya dalam berbagai aspek, baik dari segi pengertian maupun terapan sosial yang aplikatif. Pada tulisan yang pendek ini akan kita bahas sisi lain Uswatun hasanah seorang ulama bernama Syeikh Hasan Al-Bashri terhadap tetangga, sebuah unsur penghormatan yang tersembunyi atas nama pluralisme.

Alkisah, Syeikh Hasan Al-Bashri tinggal bertetangga dengan seorang Nashrani. Apartemen si Nashrani tepat berada di atas apartemennya. Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah sekalipun si Nashrani bertandang mengunjungi kediaman Syeikh. Baru ketika Syeikh jatuh sakit, si Nashrani datang berkunjung. Untuk pertama kalinya.

Ketika menjenguk itulah si Nashrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh yang sangat terkenal kesabarannya itu. Tapi yang lebih menarik bagi si Nashrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak tak jauh dari ranjang tidur syeikh. Apalagi ketika itu terdapat tetesan air dari atas baskom tersebut. Spontan si Nashrani teringat kamar mandinya yang ternyata terletak tepat di atas posisi baskom. Dengan ragu-ragu dia pun bertanya: “Syeikh, baskom apa itu?” “Ah, baskom itu, sekedar untuk menampung air,” jawabnya dengan nada datar. “Kalau penuh, tinggal dibuang.”

“Berapa lama Syeikh melakukan ini?” sedikit gemetaran si Nashrani melanjutkan tanyanya. “Maksud saya menampung tetesan air dari atap apartemen syeikh?”  “Sudah dua puluh tahun. Jadi sudah terbiasa.”

Mendengar itu, si Nashrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui ketuhanan Sang Maha Rahman dan Muhammad sebagai utusannya.

Cerita ini bagi kita lebih terdengar dongeng bukan? Ini adalah salah satu dari sekian banyak spirit mulia yang dibawa Rasulullah yang diwujudkan oleh para ulama’ pengikutnya dalam bertetangga yang rukun.

Tak banyak dari kita yang mengalami kondisi kehidupan semacam ini. Bertetangga dengan umat penganut kepercayaan lain bukanlah pilihan utama. Buktinya, banyak dari kita yang secara tidak sadar merasa superior atas yang lain. Merasa bahwa agama yang kebetulan dipeluknya sebagai entitas terbaik dan sempurna. Wacana pluralisme yang bergulir hanyalah sebatas wacana. Pelajaran tanpa pengalaman terasa hampa, begitu kata sebagian orang.

Bagi seorang perfeksionis, tak ada gunanya mengagungkan sebuah kesempurnaan tanpa pernah bisa membumikannya, tersentuh secara fisik dan tak kasta mata. Singkatnya, wacana itu diharapkan tidak sebatas angan dan akan berguna bagi yang berada di sekelilingnya. Jika demikian, melakoni wacana dengan mempraktekkannya bisa jadi salah satu solusi arif bagi kita untuk benar-benar membumikan wacana yang hanya sekedar wacana tersebut, sekedar pengimbang agar yang ada dalam benak kita tidak termarjinalkan lantaran pengalaman konkrit kita yang jauh dari kenyataan. Selamat menjalani.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger