Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

Mengenal Ulama’ dari Al Gazali

Jumat, 26 Juni 20150 comments


Al-Ghazali, seorang tokoh sufi dan pemikir yang sangat jenius, dan karena keluasan ilmunya beliau mendapat gelar hujjat al-Islam. Dalam karya monumentalnya, Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) al-Ghazali membahas berbagai macam persoalan secara komprehensif. Karena begitu luas, dalam, dan detilnya kajian dalam kitab ini, sampai-sampai ada yang memberikan sanjungan bahwa “kaada al-ihya an yakuuna qur'aanan”, artinya kitab Ihya (Ulum al-Din) hampir-hampir menyamai al-Qur'an.

Salah satu yang menjadi topik bahasan al-Ghazali di dalamnya adalah tentang ilmu. Dalam topik ini al-Ghazali membahas secara komprehensif tentang keutamaan ilmu, keutamaan belajar, dan keutamaan mengajar.

Berkaitan dengan penguasaan ilmu, al-Ghazali mengklasifikasikan manusia ke dalam empat golongan yang dikutipnya dari al-Khalil Ibnu Ahmad yaitu: pertama, rajulun yadrii wa yadrii annahu yadrii (orang yang tahu dan dia tahu bahwa dia tahu). Dari kalimat tersebut kita tarik dalam pencarian tentang hakikat dari ulama’ maka inilah ulama yang sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan harus diikuti. Karena kesadaran akan kemampuan intelektual yang dimilikinya, orang seperti ini akan menjalankan fungsinya sebagai pendidik masyarakat dan menjadi pemimpin umat.

Kedua, rajulun yadrii wa laa yadrii annahu yadrii (orang yang tahu, tapi dia tidak tahu bahwa dia tahu). Orang seperti ini diibaratkan al-Ghazali dengan orang yang sedang tertidur dan harus dibangunkan. Dia tidak sadar bahwa dirinya mempunyai kemampuan intelektual yang menuntut tanggungjawab untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya.

Ketiga, rajulun laa yadrii wa yadrii annahu laa yadrii (orang yang tidak tahu, dan dia tahu/sadar bahwa dia tidak tahu). Orang seperti ini adalah orang yang membutuhkan petunjuk dan harus diberikan pelajaran yang dapat menjadi petunjuk baginya. Dan karena kesadaran akan ketidaktahuannya, ia akan mudah menerima pengertian yang diberikan kepadanya.

Keempat, rajulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadrii (orang yang tidak tahu/bodoh, dan dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu). Orang seperti ini sangat berbahaya karena dia merasa bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya tidak tahu, sehingga sulit untuk memberikan pengertian kepada orang semacam ini karena ia bersikap congkak dan merasa sudah tahu. Pengertian yang coba untuk diberikan akan selalu ditolaknya karena perasaan tinggi dirinya itu.

Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam yaitu ilmu al-mahmud (ilmu yang baik) dan ilmu al-madzmum (ilmu yang tercela) lengkap dengan hukum-hukum mempelajarinya. Tentang keutamaan ilmu, al-Ghazali mendasarkannya pada ayat-ayat al-Qur'an antara lain: QS. Ali Imran: 18, al-Mujadilah: 11, al-Zumar: 9, Fathir: 28 dan Hadits Nabi antara lain: Ulama adalah pewaris para Nabi, Iman itu dalam keadaan telanjang, pakaiannya adalah taqwa dan perhiasannya adalah ilmu, Orang yang paling dekat derajatnya dengan derajat kenabian adalah orang yang berilmu dan melakukan jihad.

Ilmu dapat mengangkat derajat manusia dan membedakannya dengan makhluk yang lain. Untuk menjaga kelestarian dan mengembangakan ilmu, agama memberikan credit point tersendiri kepada orang-orang yang intens terhadap ilmu, sampai-sampai Nabi mengatakan bahwa orang yang beilmu (ulama) adalah pewaris para Nabi. Para ulama mendapat pujian yang sangat mengagumkan karena perjuangannya dalam menyebarkan ilmu. Dan karena intensitas ulama dalam penyebaran ilmu ini pula mereka menempati posisi yang strategis dalam masyarakat, bahkan kadang diperlakukan secara berlebihan.

Perlakuan berlebihan ini misalnya dapat kita lihat dari kenyataan sebagian masyarakat yang sampai mengkultuskan ulama tertentu bahkan menjauhkannya dari sifat-sifat kemanusiaan yang sangat mungkin melakukan kesalahan. Sehingga --kalau di Jawa-- yang muncul adalah apa kata kiai fulan saja. Ini sangat membahayakan karena sikap ini telah menjurus pada sikap pemberhalaan.

Penulis mengatakan pemberhalaan karena setiap sesuatu yang merampas kemerdekaan manusia adalah berhala. Oleh karena itu sikap-sikap kultus individu ini harus ditanggalkan dan menggantinya dengan sikap kritis dan memandang siapa pun dengan melekatkan padanya sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah).

Nabi Muhammad sendiri pun dalam al-Quran diperintahkan agar mengingatkan sifat-sifat kemanusiaannnya kepada umatnya. Katakan (Muhammad): Sesungguhnya aku ini adalah seorang manusia seperti kamu..., (al-Kahfi: 110). Ini dimaksudkan agar Nabi Muhammad tidak dikultuskan oleh para pengikutnya yang sekaligus adalah bantahan yang sejak awal diberikan agar Islam tidak sebut Muhammedanism sebagaimana yang dilontarkan oleh sebagian orientalist.

Celakanya kadang-kadang ulama' sendiri tidak mengetahui batas kewenangannya atau bahkan dengan sengaja mengaburkannya, sehingga masyarakat memahaminya secara salah dengan menganggap kewenangan ulama sampai pada kewenangan agama. Kalau diartikan secara literal, alim-ulama berarti orang yang berilmu. Dari sini sangat jelas bahwa kewenangan ulama adalah kewenangan ilmu, bukan agama. Masalah surga-neraka adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Karena batas kewenangan ulama ini maka adalah tidak benar kalau ada ulama yang memberikan fatwa melewati batas kewenangannya itu. Misal, yang pernah muncul adalah fatwa seorang ulama tentang kehalalan darah seseorang karena ada interest politik tertentu dengan menjanjikan kredit point masuk Surga bagi yang mau dan mampu melakukannya. Ini adalah fatwa yang sesat dan menyesatkan (dlalla wa adlalla) dan sudah sangat jauh dari batas kewenangan seorang ulama. Ada juga yang memberikan fatwa yang sesungguhnya sangat kental dengan nuansa politik dukung-mendukung yang dibungkus dengan bahasa agama.

Jadi kewenangan ulama berbeda dengan kewenangan seorang Paus atau Pastur. Seorang Katholik tidak boleh memprotes Pastur apalagi Paus, karena hal itu bisa menyebabkannya masuk ke Neraka, karena Paus mempunyai kewenangan agama berbeda dengan ulama.

Dua Macam Ulama

Oleh karena itu, walaupun banyak mendapatkan pujian, bukan berarti ulama lepas dari kritik. Dengan sangat kritis al-Ghazali mengklasifikasikan ulama ke dalam dua golongan yaitu ulama al-khair (ulama yang baik) atau ulama al-akhirat, dan ulama' al-suu' (ulama yang jelek). Ulama al-suu juga disebut sebagai ulam' al-dunya (ulama --yang suka-- duniawi). Ciri-cirinya terlihat dari tujuan dari penguasaan ilmu adalah karena ingin memperoleh kenikmatan dunia semata, mengejar jabatan dan kedudukan untuk kepentingan sendiri. Dia memanfaatkan ilmunya untuk melapangkan jalan menuju tujuan duniawinya dengan jalan apa pun, walaupun harus mengorbankan umat.

Tentang ulama' al-suu' ini, al-Ghazali mendasarkannya pada hadits Nabi yang mengatakan bahwa pada akhir zaman nanti akan muncul orang-orang yang tekun menjalankan ibadah akan tetapi sangat bodoh dan juga orang-orang yang pandai (ulama\') akan tetapi fasik. Menurut al-Ghazali orang yang disebut terakhir inilah yang nanti di hari kiamat akan mendapatkan siksa yang paling berat, karena mereka ini adalah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan. Mereka berpredikat ulama, akan tetapi keulamaan tersebut dijadikan sebagai alat untuk membodohi umat, bukan untuk mencerdaskan dan memberdayakan umat. Karena itu, setiap pribadi dituntut untuk bersikap kritis kepada siapa pun, dan jangan memandang sesuatu dari bungkus luar atau formalnya saja.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger