Oleh :
Muhammad Abu Nadlir
Di dunia modern dan industri saat ini, setiap alat yang
diproduksi oleh perancang dan penciptanya, selalu disertai dengan buku petunjuk
pengoperasian dan pemeliharaan, seperti buku petunjuk lemari es atau televisi
dan sebagainya, yang diberikan kepada para pembeli barang-barang tersebut; yang
memuat perincian tentang bagian luar dan dalam peralatan tersebut, juga cara
penggunaan yang benar, dan hal-hal yang berbahaya bagi alat itu, dan
sebagainya, agar pembeli dapat mempelajarinya dan dapat memanfaatkannya dengan
baik dan benar, juga agar mereka dapat menghindari hal-hal tertentu yang akan
membuat barang tersebut cepat rusak. Saya dan Anda semua, juga seluruh manusia,
adalah perangkat-perangkat yang sangat modern, yang telah diciptakan oleh Dzat
yang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa.
Dan oleh karena kerumitan dan ketelitian yang sedemikian
besar di dalam tubuh dan jiwa kita, maka kita tidak mampu mengenali hakikat
diri kita sendiri, juga jalan kebahagiaan kita. Dari satu sisi, apakah kita ini
lebih kecil dibanding dengan lemari es dan televisi, yang para perancang dan penciptanya
berkewajiban menyertakan buku petunjuknya, sedangkan Pencipta kita tidak perlu
menulis sebuah buku petunjuk kecil untuk kita?!! Apakah kita tidak memerlukan
buku petunjuk, yang menjelaskan keistimewaan-keistimewaan tubuh dan jiwa
manusia, yang menerangkan segala kemampuan dan potensi-potensi yang telah
diciptakan dalam wujudnya, dan menyebutkan cara-cara yang benar dalam
penggunaan semua itu? Yang lebih penting dari semuanya ialah penjelasan tentang
bahaya-bahaya yang mengancam tubuh dan jiwa manusia, serta sumber-sumber
kebinasaan dan kesengsaraannya secara terperinci. Dapatkah diterima, Allah yang
menciptakan kita atas dasar rahmat dan kecintaan (mahabbah), lalu
melepaskan kita begitu saja, tanpa menerangkan jalan kebahagiaan dan cara
mencapai kesejahteraan bagi kita? Al-Quran adalah ibarat sebuah buku petunjuk
tentang manusia yang Ia kirimkan.
Di dalam kitab petunjuk inilah Allah SWT menerangkan
jalan kebahagiaan dan kesejahteraan, juga faktor-faktor kebinasaan dan
kesengsaraan manusia. Hubungan baik kekeluargaan dan kemasyarakatan,
masalah-masalah hukum dan akhlak, keperluan-keperluan jiwa dan raga,
tugas-tugas individu dan sosial, adat istiadat yang benar dan yang menyimpang
di dalam masyarakat manusia, perintah-perintah dan undang-undang keuangan serta
perekonomian, dan berbagai topik lain yang berperan di dalam kebaikan atau
kerusakan individu dan masyarakat, semua itu dijelaskan di dalam Kitab ini.
Meskipun di dalam Al-Quran disebutkan juga kisah-kisah tentang kaum-kaum
terdahulu, berbagai peristiwa peperangan dan pertempuran, sejarah kehidupan
umat manusia, baik lelaki maupun perempuan, akan tetapi Al-Quran bukanlah
sebuah kitab cerita.
Akan tetapi, ia adalah kitab pelajaran bagi kehidupan
kita saat ini. Oleh karena itu, nama kitab ialah Al-Quran. Artinya bacaan.
Sebuah kitab yang harus dibaca; hanya saja bukan sekedar dibaca dengan lidah,
sebagaimana kitab pelajaran di sekolah-sekolah dasar. Ia adalah Kitab yang
harus dibaca disertai dengan tafakkur dan tadabbur,
sebagaimana yang diminta oleh Al-Quran itu sendiri. Tujuan pembahasan kita ini
ialah mengupas ajaran-ajaran Al-Quran dalam bentuk terjamah dan penjelasan
serta keterangan, yang akan kami berikan kepada kalian khusunya (kaum remaja
dan generasi muda yang kami cintai) yang ingin memprogram kehidupan sesuai
dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah demi kebahagian kalian, agar
dengan acara ini akan terciptalah kesempatan bagi Anda, ketika membaca
Al-Quran, Anda juga akan dapat mengambil manfaat bagi kehidupan di dunia. Kini
marilah kita menghadapkan diri kita kepada Al-Quran, dan kita buka halaman
pertama Kitab samawi ini. Surah pertama Al-Quran ialah Fâtihatul Kitâb.
Di kalangan umum, surah ini dikenal dengan nama Surah Al-Hamdu. Karena
Al-Quran diawali oleh Surah ini, maka Surah ini pun dinamai Fâtihatul Kitâb yang artinya pembuka kitab. Kedudukan
penting surah yang tak memiliki lebih dari tujuh ayat ini, cukup tergambar di
dalam kenyataan bahwa diwajibkan dalam sehari semalam atas kita untuk membacanya
dua kali di dalam setiap salat yang kita lakukan, dan salat akan batal tanpa
membaca surah ini.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Surah yang merupakan pembukan Kitab Allah ini sendiri,
dimulai dengan sebuah ayat dimana setiap pekerjaan yang tidak didahului oleh
ayat ini, maka pekerjaan tersebut tidak akan membawa kebaikan. Ayat pertama
ialah: Bismillâhirrahmânirrahîm.
Artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Sejak dahulu, sudah menjadi kebiasaan di kalangan rakyat,
bahwa pekerjaan-pekerjaan penting selalu dimulai dengan menyebut nama para
pembesar mereka, untuk mendapat berkah darinya. Umpamanya, para penyembah
patung atau berhala, mencari berkah dengan nama atau dengan kehadiran para
kepala negara. Akan tetapi, Dzat yang lebih besar di antara
segala sesuatu yang besar, adalah Allah SWT di mana kehidupan segala sesuatu
yang hidup ini bermula dari-Nya.
Bukan hanya kitab alam semesta, akan tetapi, kitab
syari’at, yaitu Al-Quran dan semua kitab samawi, dimulai dengan nama-Nya. Islam
mengajarkan kepada kita agar pekerjaan-pekerjaan kita, yang kecil dan yang
besar, makan dan minum, tidur dan bangun, bepergian dan menaiki kendaraan,
berbicara dan menulis, kerja dan usaha, pokoknya semua perbuatan kita,
hendaknya kita mulai dengan Bismillâh (dengan nama Allah).
Jika seekor binatang disembelih tanpa menyebut nama
Allah, maka kita dilarang memakan daging binatang tersebut. Kata-kata "Bismillâh" tidak khusus di dalam agama Islam
saja.
Menurut ayat-ayat Al-Quran, kapal Nabi Nuh as juga
bergerak diawali dengan kalimat "Bismillâh".
Surat Nabi Sulaiman as kepada Balqis, juga diawali dengan kalimat "Bismillâh". "Bismillâh” adalah sebuah
ayat lengkap, dan bagian dari Surat Al-Fâtihah. Oleh sebab itu, Ahli
Bait Nabi SAWW tidak suka terhadap orang yang tidak membacanya atau membacanya
dengan suara pelan di dalam salatnya. Mereka sendiri selalu membaca ayat ini,
yaitu "bismillâhirrahmânirrahîm" dengan suara keras di dalam setiap
salat yang mereka lakukan.
Ada beberapa hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran
dari ayat ini.
1. "Bismillâh" merupakan sumber berkah dan jaminan bagi setiap
pekerjaan, juga merupakan tanda tawakkal kepada Allah dan permohonan bantuan
dari-Nya.
2. "Bismillâh" memberi warna Ilahi kepada setiap pekerjaan, dan menyelamatkan
pekerjaan-pekerjaan manusia dari bahaya syirik dan riya.
3. "Bismillâh" artinya: Ya Allah aku tidak melupakan-Mu, maka janganlah
Engkau melupakan aku.
4.
Orang yang mengucapkan "Bismillâh" berarti telah menggabungkan diri
kepada kekuatan tak terbatas dan lautan rahmat Ilahi yang tak bertepi.
الحمد لله رب العالمين
"Segala puji hanya bagi Allah Tuhan seluruh Alam."
Setelah menyebut nama Allah, maka kalimat pertama yang
kita ucapkan Ialah syukur kepadanya. Allah Tuhan yang perkembangan dan
kehidupan segala sesuatu di alam ini bersumber darinya, baik alam benda mati,
tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam langit dan bumi. Ia yang mengajarkan
kepada lebah madu dari mana mencari makanan dan bagaimana cara membuat sarang.
Ia juga mengajarkan pada semut bagaimana menyimpan makanannya untuk musim
dingin. Ia pulalah yang menumbuhkan batang-batang gandum yang penuh dengan
biji-biji hanya dari sebutir gandum, juga menumbuhkan sebatang pohon apel dari sebutir
biji apel. Dialah yang menciptakan langit dengan kehebatan yang amat besar ini
dan menetapkan garis edar setIap bintang dan setIap galaksinya. Dialah yang
menciptakan kita dari setetes air yang memancar dan menumbuhkan kita di dalam
perut ibu selama kurang lebih 6 hingga 9 bulan lebih beberapa hari. Lalu
setelah lahir ke dunia Ia pun menyediakan segala keperluan untuk perkembangan
kita. Ia membentuk badan kita sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan
diri dari mikroba-mikroba pembawa penyakit dan jika salah satu tulang tubuh
kita patah atau retak, maka tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengatasinya
sedemikIan rupa. Demikian pula jika tubuh memerlukan darah, maka secara
otomatis ia memproduksinya untuk memenuhi keperluan tersebut. Akan tetapi, bukan
hanya perkembangan dan pemeliharaan tubuh kita saja yang berada di tangan-Nya,
akal dan perasaan juga Ia ciptakan untuk kita. Lalu Allah mengutus para Nabi
dan kitab-kitab Samawi untuk mendidik kita. Dari ayat ini ada satu hal yang
dapat kita ambil sebagai pelajaran yaitu ketergantungan kita dan seluruh alam
ini kepada Allah SWT. Bukan hanya pada saat penciptaan, akan tetapi
perkembangan dan keterpeliharaan kita juga datang dari-Nya. Oleh karena itu,
hubungan Allah dengan segala yang maujud ini bersifat selamanya dan kekal. Oleh
karena itu pulalah maka kita harus mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Bukan hanya di
dunia, bahkan di hari akhirat pun ucapan penduduk syurga adalah Ahamdulillâh hi rabbul `âlamîn.
الرحمن الرحيم
"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".
Allah yang kita imani ialah manifestasi kasih sayang,
cinta, maaf dan ampunan. Contoh-contoh rahmat dan cinta-Nya terdapat di dalam
nikmat-nikmat-Nya yang amat banyak tak terhingga yang Ia ciptakan untuk kita.
Bunga-bunga yang indah berbau harum, buah-buahan yang manis dan lezat rasanya,
berbagai bahan makanan yang lezat dan penuh energi, bahan-bahan pakaian yang
beraneka warna, semua dan semua merupakan hadiah-hadiah Allah kepada kita.
Cinta ibu kepada anaknya Ia tanamkan di dalam hati dan
jiwa ibu kita sedangkan Allah sendiri memiliki cinta yang jauh lebih besar
daripada cinta para ibu terhadap anak-anak mereka. Kemurkaan dan siksaannya pun
datang dari tindakan Allah yang bertujuan memperingatkan dan adanya perhatian
Allah terhadap kita. Bukannya karena sifat dendam atau niat menuntut balas.
Oleh karena itu, jika kita bertaubat dan menutupi
kesalahan yang kita lakukan, maka Allah pasti akan mengampuni dan menghapus
kesalahan dan dosa kita.
Dari Ayat ini dapat kita ambil pelajaran sebagai berikut
yaitu bahwa Allah selalu mendidik dan memelihara segala yang maujud ini dengan
rahmat dan kasih sayang, karena di samping sifat-Nya sebagai Rabbul ‘Âlamîn, penguasa dan
pemelihara seluruh Alam. Ia juga menyebut dirinya sebagai Ar-Rahmân Ar-Rahîm,
Maha pengasih dan maha penyayang.
Oleh karena itu, jika para pengajar dan pendidik ingin
mendapatkan sukses, maka mereka harus bekerja berdasarkan mahabbah dan kasih
sayang.
مالك يوم الدين
"Pemilik hari pembalasan."
Kata-kata Dîn berarti agama, juga berarti
pembalasan. Adapun yang dimaksudkan dengan Yaumiddîn ialah Hari Qiamat yang merupakan hari
perhitungan pemberian pahala dan pembalasan.
Meskipun Allah SWT adalah pemilik dan penguasa dunia
sekaligus pemilik Akhirat, namun kepemilikan dan kekuasaan-Nya di hari Qiamat
memiliki bentuk yang berbeda. Di hari itu tak ada siapa pun yang menguasai
sesuatu. Harta kekayaan dan Anak-anak sama sekali tidak memiliki peran. Sahabat
dan kerabat tak memiliki kekuasaan apapun.
Bahkan seseorang tidak memiliki kekuasaan terhadap
anggota tubuhnya sendiri. Lidah tak diizinkan untuk mengucapkan permohonan
ampun. Tidak pula pikiran memiliki kesempatan untuk berpikir. Hanya Allah yang
memiliki kekuasaan penuh di hari itu.
Dari Ayat ini terdapat beberapa hal yang boleh kita ambil
sebagai pelajaran:
1. Di samping harapan akan rahmat Allah yang tak terbatas
sebagaimana yang dipaparkan dalam ayat sebelumnya, kita juga harus merasa takut
akan perhitungan dan pembalasan hari Qiamat.
2. Dengan iman kepada hari Qiamat, maka kita tak perlu cemas
bahwa perbuatan-perbuatan baik kita tak akan memperoleh balasan atau pahala.
3.
Allah SWT maha mengetahui segala perbuatan baik dan buruk
yang kita lakukan dan ia memiliki kemampuan untuk memberikan balasan maupun
pahala.
إياك نعبد و إياك نستعين
"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya
kepada-Mulah kami meminta pertolongan".
Di dalam ayat-ayat yang lalu Allah telah kita kenal bahwa
Ia itu Rahmân dan Rahîm serta Rabbul `Âlamîn, juga Mâliki
Yaumiddîn.
Sementara oleh karena kehebatan ciptaan-Nya dan
nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung yang Ia curahkan kepada kita, maka kita
mengucapkan syukur dan pujian kepadanya dengan mengatakan Alhamdulillâhi Rabbil
`Âlamîn.
Sudah sepatutnyalah jika sekiranya kita menghadapkan diri
kita kepadanya dan seraya mengatakan ketidakmampuan dan kelemahan kita, maka
kita juga mengatakan bahwa kita adalah hamba-hamba-Nya yang tulus dan hanya
dihadapan perintah-Mu Ya Allah, bukan di hadapan perintah-perintah selain-Mu
kami menundukkan kepala. Kami bukan hamba-hamba Emas dan kekayaan duniawi juga
bukan budak-budaknya kekuatan dan kekuasaan imperialis.
Karena shalat
yang merupakan manifestasi Ibadah dan penyembahan Tuhan dikerjakan secara
berjamaah, maka umat Islam satu suara di dalam satu barisan secara kompak
menyatakan bahwa “iyyâka
na'budu wa iyyâka nasta'în”. Ya Allah, bukan hanya aku, tetapi semua kami
adalah hamba-hamba-Mu dan kepada-Mulah kami memohon pertolongan. Ya Allah,
bahkan ibadah yang kami lakukan ini pun adalah berkat pertolongan-Mu. Jika
Engkau tidak menolong kami, maka kami pasti akan menjadi hamba dan budak
selain-Mu.
Dari ayat mulia ini hal-hal berikut dapat kita ambil
sebagai pelajaran:
1. Meskipun undang-undang yang menguasai alam-alam materi
dan formula-formula fisika dan kimia kita yakini, namun semua itu berada di
bawah kekuasan Allah dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, kita adalah orang-orang
yang berserah diri kepada Allah, bukannya kepada alam dan hanya kepada Allahlah
kita memohon bantuan bahkan dalam urusan materi sekalipun.
2. Jika di dalam setiap salat dengan sepenuh hati dan
khusyuk kita nyatakan bahwa kita hanya menghambakan diri kepada Allah, maka
kita tak akan menjadi orang-orang yang congkak dan sombong.
اهدنا الصراط المستقيم
Kini kita menjulurkan tangan kepada-Nya dan memanjatkan
doa sebagai berikut:"Tunjukilah kami jalan yang lurus"
Untuk kehidupan manusia terdapat bermacam-macam jalan.
Jalan yang ditentukan sendiri oleh manusia berdasarkan keinginan dan
tuntutan-tuntutan pribadi, jalan yang dilalui oleh masyarakat dan rakyat, jalan
yang dilewati oleh orang-orang tua dan orang-orang bijak kita, jalan yang
digariskan untuk masyarakat oleh para taghut dan penguasa lalim, jalan
kelezatan lahiriyah duniawi, atau jalan ‘uzlah (pengasingan diri) dari segala
bentuk aktifitas sosial.
Apakah manusia, di antara sekian banyak jalan dan
berbagai cara hidup, tidak memerlukan petunjuk untuk dapat menemukan jalan yang
benar dan lurus? Allah telah mengutus para Nabi dan menurunkan Kitab-kitab samawi.
Dan hidayah kita terletak di dalam ketaatan dan kesungguhan kita dalam mentaati
Rasul Allah, Ahlul Bait dan Al-Quran.
Oleh karena itu, maka di dalam setiap salat, kita memohon
kepada Allah agar menunjuki kita jalannya yang terang dan lurus. Jalan yang tak
berkelak-kelok dan tak bergelombang naik turun.
Jalan lurus adalah jalan tengah dan moderat. Jalan yang
lurus berarti jalan kesimbangan dan kemoderatan di dalam segala urusan, dan
keterjauhan dari segala bentuk ekstrimitas.
Sebagian orang dalam menerima pokok-pokok akidah,
mengalami penyimpangan, sementara sebagian yang lain dalam amal perbuatan dan
akhlak, dan yang lain menisbahkan segala perbuatan kepada Allah, sehingga
menurut mereka manusia tak lagi memiliki kehendak atau peran dalam menentukan nasib
sendiri; sedangkan orang lain ada pula yang menganggap dirinyalah yang
menentukan segala urusan dan setiap pekerjaan, sehingga menurut mereka Allah
SWT tak lagi memiliki peran sama sekali dalam hal itu.
Sebagian orang kafir menganggap para pemimpin Ilahi
sebagai manusia-manusia biasa, bahkan lebih rendah lagi, sebagai orang-orang
yang gila. Sementara sebagian orang yang mengaku beriman menganggap beberapa
Nabi, seperti Nabi Isa as sedemikian tinggi sehingga mencapai batas ketuhanan.
Pemikiran dan perlaku-perilaku semacam ini menunjukkan penyimpangan dari jalan
yang lurus, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan Ahli Bait as.
Al-Quran juga memerintahkan kita agar menjaga
keseimbangan dan jalan tengah dalam urusan-urusan ibadah, perekonomian dan
sosial. Beberapa ayat berikut ini adalah beberapa contoh yang akan kita
tampilkan.
Di dalam ayat 31 surah Al-A'raf, Allah SWT berfirman, "Makanlah dan minumlah, akan
tetapi janganlah kalian berlebihan".
Di dalam ayat 110 surah Al-Isrâ`, disebutkan, "Janganlah kalian meninggikan
bacaan salat kalian dan janganlah memelankannya; carilah jalan tengah diantara
keduanya".
Demikian pula di dalam ayat 67 surah Al-Furqân, kita
membaca, "Dan orang-orang
yang menafkahkan harta, tidak berlebihan dan tidak pula terlalu kikir, mereka
mengambil jalan tengah di antara keduanya".
Meskipun Islam sangat menekankan agar anak berbakti dan
berlaku baik terhadap kedua orang tua, dan berkata, "Wabil wâlidaini ihsânâ" (dan berbuatlah baik kepada kedua
orang tua), namun di samping itu, Al-Quran juga berfirman, "Falâ tuthi'humâ" (janganlah engkau mentaati keduanya).
Yaitu ketika kedua orang tua mengajak kepada perbuatan tidak baik.
Kepada orang yang hanya mengejar ibadah seraya
mengasingkan diri dari masyarakat, atau orang yang beranggapan bahwa mengabdi
kepada rakyat adalah satu-satunya ibadah, Al-Quran mengajukan salat dan zakat
bergandengan dan mengatakan, "Aqîmush
sholâta wa âtuz zakâh" (Dirikanlah
salat dan keluarkanlah zakat).
Kita tahu bahwa salat adalah hubungan antara makhluk
dengan Khâliq, sedangkan
zakat adalah hubungan antara sesama makhluk. Orang-orang beriman yang
sebenarnya adalah mereka yang memiliki dua unsur sekaligus yaitu daya tolak dan
daya tarik. Di dalam ayat terakhir Surah Al-Fath, Allah SWT berfirman, "Muhammad adalah utusan Allah,
dan orang-orang yang bersamanya bersifat keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi lemah lembut terhadap sesama mereka".
Adapun beberapa poin yang dapat kita ambil sebagai
pelajaran dari ayat ke-6 ini ialah:
1. Jalan kebahagiaan adalah jalan yang lurus yaitu shirâtul mustaqîm, karena:
Pertama, jalan
Allah yang lurus bersifat tetap, berbeda dengan jalan-jalan atau cara hidup,
yang dibuat oleh manusia, yang setiap saat berubah-ubah.
Kedua,
sementara itu, jarak terpendek antara dua titik adalah garis lurus, yang
merupakan sebuah jalan, tak lebih, dan sama sekali tak memiliki kelokan dan
tanjakan, sehingga dalam waktu yang paling singkat ia akan membawa manusia
sampai ke tujuan.
2. Pesan lainnya ialah dalam memilih jalan juga dalam berusaha
bertahan untuk tetap berada di atas jalan yang lurus, kita harus memohon
pertolongan dari Allah. Karena kita selalu berada dalam ancaman kekeliruan dan
ketersesatan. Dan jangan dikira bahwa jika selama ini kita tak pernah mengalami
kesesatan dan penyimpangan lalu kita akan selamanya berada di atas jalan
kehidupan yang lurus. Betapa banyak diantara kita, manusia, yang telah melewati
sebagian umurnya dengan iman, namun ketika telah memperoleh kekayaan atau
pengkat kedudukan, maka ia melupakan Allah.
Karena pengenalan jalan yang lurus adalah pekerjaan yang
sulit, maka ayat selanjutnya mengajukan teladan-teladan bagi kita agar kita
dapat mencontohi mereka dalam rangka menemukan jalan lurus ini. Juga
orang-orang yang menyimpang dari jalan ini, agar kita jangan ikut tersesat
seperti mereka.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ
"yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang
yang sesat".
Dalam memilih jalan kehidupan, manusia terbagi menjadi
tiga golongan. Golongan pertama ialah orang-orang yang memilih jalan Allah, dan
meletakkan kehidupan pribadi dan masyarakat mereka di atas dasar undang-undang
dan perintah-perintah yang telah Allah jelaskan di dalam Kitab-Nya. Golongan
ini selalu tercakup oleh rahmat dan nikmat Ilahi yang khusus.
Golongan kedua berada di dalam keadaan yang berlawanan
dengan golongan pertama. Mereka ini, meskipun mengetahui adanya kebenaran,
namun tetap saja menolak Allah bahkan lari menuju kepada selain-Nya. Mereka ini
lebih mengutamakan hawa nafsu mereka, keinginan-keinginan ilegal orang-orang
dekat dan keluarga serta masyarakat mereka dari pada keinginan dan kehendak
Allah SWT.
Kelompok ini secara perlahan memperlihhatkan
akibat-akibat perbuatan dan perilaku mereka di salam keberadaan mereka. Sedikit
demi sedikit mereka menjauh dari shirâthul
mustaqîm; dan bukannya menuju ke arah Allah SWT dan mendapat rahmat-Nya,
mereka terperosok ke jurang kesengsaraan dan kesusahan, serta menjadi sasaran
kemurkaan dan kemarahan Ilahi, yang disebut oleh ayat ini sebagai orang yang "maghdhûbi alaihim",
orang-orang yang dimurkai.
Sementara itu, kelompok ketiga ialah orang-orang yang
tidak memiliki jalan yang jelas dan tertentu. Mereka itu orang-orang yang
bingung dan tidak mengerti. Di dalam ayat ini mereka disebut sebagai
orang-orang yang "dhôllîn",
orang-orang yang sesat.
Di dalam setiap shalat, kita menyerukan: Ihdinash
shirôtol .........
Artinya: Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan
yang dilalui oleh para Nabi, auliya, orang-orang suci dan orang-orang yang
lurus. Mereka yang selalu berada di bawah curahan rahmat dan nikmat-nikmat
khusus-Mu. Dan jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang telah menyimpang
dari kemanusiaan dan menjadi sasaran kemurkaan-Mu, juga dari jalan orang-orang
yang kebingungan dan sesat.
Sampai di sini muncul pertanyaan sebagai berikut:
siapakah orang-orang yang dimurkai dan sesat itu?
Orang-orang yang Dimurkai dan Sesat
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus kita katakan bahwa
di dalam Al-Quran banyak orang dan kaum yang disebut dengan sebutan di atas. Di
sini kita akan singgung salah satu contohnya yang jelas dan nyata.
Bani Israil, yang sejarah kehidupan mereka sejak berada
di bawah kekuasaan Fir'aun hingga mereka terselamatkan oleh Nabi Musa as, telah
dijelaskan di dalam Al-Quran, pada suatu masa pernah memperoleh rahmat dan
anugerah Allah yang tak terhingga, berkat ketaatan mereka terhadap
perintah-perintahn-Nya. Bahkan Allah telah melebihkan mereka dari segenap kaum
di muka bumi ini.
Hal itu dapat kita baca di dalam ayat 47 surah Al-Baqarah
yang berfirman, "Wahai
Bani Israil, ingatlah nikmat-nikmat-Ku yang telah Kuberikan kepada kalian dan
bahwa Aku telah mengutamakan kalian di atas segenap penghuni seluruh alam".
Akan tetapi, disebabkan perbuatan dan tingkah mereka,
maka Bani Israil ini juga telah tertimpa murka Ilahi. Dalam hal ini Allah
berfirman, "Wa bâ`û bi
ghodhobim minallôh", (mereka pun tertimpa murka Allah). Karena mereka
itu “yuharrifûnal
kalim" (yaitu
ulama-ulama Yahudi suka mengubah-ubah ajaran-ajaran samawi di dalam Kita
Taurat), juga "wa'aklihimur ribâ", (kesukaan mereka memakan uang
hasil riba), dan perbuatan-perbuatan haram lainnya.
Masyarakat umum Yahudi pun sudah suka memburu kesenangan
duniawi dan sudah terbiasa dengan kemewahan hidup; sehingga membuat mereka
tidak lagi bersedia membela agama dan tanah air. Ketika Nabi Musa mengajak
mereka agar berjuang mengusir penjajah dari tanah ari mereka, mereka berkata, "Fadzhab anta wa Robbuka
faqôtilâ innâ hâhunâ qô'idûn" (pergilah
engkau dan Tuhanmu untu berperang. Adapun kami akan menunggu di sini).
Orang-orang yang baik di antara kaum Yahudi ini juga diam
tanpa berbuat suatu apa pun menghadapi kesesatan dan penyimpangan ini.
Akibatnya, kaum ini terperosok ke jurang kehinaan padahal sebelumnya mereka
berada di puncak kemuliaan.
Beberapa hal berikut ini dapat kita ambil sebagai
pelajaran dari ayat yang telah kita pelajari ini:
1.
Dalam memilih jalan yang lurus, kita memerlukan teladan
yang telah disebutkan oleh Allah di dalam ayat 69 surah An-Nisâ`, yaitu para
Nabi, shiddîqîn (yaitu orang-orang yang
membenarkan), shuhadâ dan saleh, yang merupakan orang-orang
yang selalu mendapat rahmat dan ‘inâyah serta nikmat-nikmat khusus Allah
SWT.
2. Pelajaran lain yang dapat kita ambil ialah bahwa meskipun
segala sesuatu yang datang dari Allah SWT merupakan nikmat-nikmat, namun
kemurkaan Allah akan datang menimpa kita karena perbuatan-perbuatan maksiat
kita. Oleh karena itu, berkenaan dengan nikmat Ilahi, Al-Quran berfirman, “an'amta”, (Engaku telah
memberi nikmat). Sedangkan ketika berbicara tentang kemurkaan, Al-Quran tidak
mengatakan, “ghodhibta”,
(Engkau telah murkai). Akan tetapi, Al-Quran mengatakan, “maghdhûbi alaihim”. Kata ini
adalah sifat, yang menunjukkan lebih kekalnya kemurkaan tersebut.
Posting Komentar