Judul :
Perang Tiga Trilliun Dolar
Penulis : Stiglitz dan Bilmes
Penerbit :
Mizan, Bandung
Cetakan :
Pertama 2008.
Perang bukanlah jalan akhir untuk menyelesaikan
suatu masalah. Yang didapat justru memperpanjang permusuhan antara dua Negara
atau lebih yang bersitegang. Selain itu juga mengakibatkan kehancuran sehingga
menyisakan penderitaan yang mendalam bagi Negara yang dijajah maupun yang
menjajah terutama dalam hal perekonomian.
Sudah terhitung selama 6 tahun dari awal invasi
besar-besaran Amerika Serikat ke Irak yang terjadi pada tanggal 19 Maret 2003.
Dampak perekonomian di kedua belah pihak masih terus menerus mengalami resesi
hingga saat ini. Penderitaan ini disebabkan oleh kejahatan perang AS dalam
invasinya ke Irak yang telah terbukti melanggar tata aturan yang telah
ditetetapkan oleh PBB (badan perserikatan
internasional yang mempunyai hak dalam menentukan undang-undang untuk
mengatur terwujudnya perdamaian dunia). Menurut piagam PBB, suatu negara hanya
boleh mengangkat senjata untuk mempertahankan diri atau jika telah telah diberi
wewenang yang sah oleh dewan keamanan PBB. Kenyataan yang terjadi saat ini
justru berlawanan dengan arah PBB dalam visi dan misinya. Amerika di bawah
rezim George Walker Bush mengabaikan hukum internasional Jutaan peluru dan
rudal yang telah diluncurkannya ke Irak seakan meremehkan tugas PBB dalam
menertibkan dunia.
Dalam buku ini, Stiglitz dan Bilmes, dua orang
yang telah lama mengabdikan diri menjadi pejabat politis/ teknorat dalam
pemerintahan Clinton menjabarkan secara rinci dan objektif tentang biaya mahal
yang harus dikeluarkan AS dan sekutunya dalam invasinya ke Irak. Bila dihitung,
biaya-biaya tidak langsung yang dipikul oleh pembayar pajak Amerika, sejauh ini
telah mencapai angka 3 triliun dolar selama 5 tahun atau setara dengan
kira-kira 28.000 triliun rupiah dan diperkirakan akan terus meningkat. Count
ini belum termasuk bunga, biaya ekonomi dan sosial yang termasuk didalamnya
biaya tunjangan untuk veteran AS yang mengalami cacat (lebih dari 200.000
veteran), perawatan medis bagi yang menderita luka ringan atau yang terkena
gangguan jiwa akibat perang (telah terhitung lebih dari 100.000 veteran), biaya
kompensasi, pensiun dan tunjangan untuk keluarga veteran yang tewas dalam
perang (lebih dari 4000 personel). Semua perhitungan biaya tersebut berdampak
pada melonjaknya perekonomian dunia berupa tingginya harga energi dunia.
Sebagai contoh kenaikan harga minyak yang berdampak pada Negara-negara
pengimpor minyak, termasuk Negara kita, Indonesia. Adapun pihak-pihak yang
lebih dirugikan dalam problem global ini adalah sekutu-sekutu tradisional AS di
Eropa dan Asia.
Perubahan yang Gagal
Dahulu, sebelum terjadi penyerangan AS ke Irak
dan negara-negara islam lainnya di timur tengah, AS mempunyai nama besar yang
karismatik. Negara-negara di seluruh penjuru dunia memandang dan mengakui
kehebatan Amerika dalam segala bidang. Dari politik, ekonomi, pendidikan, hubungan
diplomasi, militer dan lain-lain sehingga disebut sebagai Negara Adidaya. Sebut
saja nama-nama yang telah mengharumkan nama Amerika di kancah dunia, D.
Roosevelt, John Kennedy, Bill Clinton. Kemampuan mereka yang mumpuni dalam
mementingkan kepentingan social daripada egoisitas dan memperjuangkan
masyarakat demi kesejahteraannya dapat merubah AS menjadi Negara yang
progressif. Menurut data hasil survei
Pew Research Center pada tahun 1999-2000, negara- negara sekutu tradisional
AS menaruh kekaguman pada demokrasi AS dan berperasaan positif terhadapnya
melebihi perasaan negative. Seperti Inggris Raya (83%), Jerman (78%), bahkan
negara-negara islam pun mengakuinya, seperti Indonesia (75%), Turki (52%), dan
Maroko (77%).
Sejak terjadi serangan ke gedung WTC di New
York pada tanggal 11 September 2001, Amerika mengecamnya sebagai bentuk teroris
yang dilayangkan oleh Afghanistan. Sehingga timbullah dalam benak Amerika saat
itu untuk membalas dendam dengan peperangan. Gencarnya AS mengungkit- ungkit
tragedi WTC sebagai bentuk terrorism dan tuduhan yang tajam pada umat islam
sebagai pengancam keamanan dunia telah meluas dan menerima banyak kritik
khususnya dari negara-negara Islam dan umat islam di daratan Eropa dan Asia bahkan
di negeri Paman Sam sendiri. Hal ini yang membuat kekaguman banyak negara
terhadap AS menurun pada tahun 2007.
Bermula dari Afghanistan, kemudian merambat ke
Irak dan Palestina. Pada awal mulanya tujuan Bush adalah menciptakan kawasan
Tinur Tengah yang demokratis agar tercipta kedamaian yang pada saat itu masih
terjadi pemberontakan oleh rezim Saddam Hussein. Tapi apakah tujuan itu hanya
formalitas belaka untuk menutupi egoisitas Bush dalam menguasai perminyakan
Dunia yang melimpah ruah di Timur Tengah. Kekerasan Saddam Hussein sebenarnya tidak begitu besar,
hanya saja dibesar-besarkan dan dimanipulasi oleh Bush. Keputusan gila Presiden
Bush untuk menginvasi Irak adalah bencana kemanusiaan. Hal ini semakin jelas
dengan fakta yang ada. Bukanlah perdamain yang didapat Irak, seperti yang telah
dijanjikan oleh Bush tetapi justru kehancuran dan penderitaan. Belum selesai
satu masalah, AS sudah menuduh Irak menyembunyikan senjata pemusnah massal agar
AS lebih leluasa dalam agresinya padahal Badan Energi Atom Internasional (IAEA)
menyatakan bahwa mereka tidak menemukan senjata pemusnah massal tersebut. AS
seakan tidak peduli pada kerusakan yang besar karena mendapat sokongan yang
kuat dari Israel (di bawah pemerintahan Ariel Sharon), Inggris (di bawah
pemerintahan Tony Blair) dan Australia (di bawah pemerintahan John Howard).
Buku ini perlu dijadikan renungan oleh semua
pemimpin Negara agar tidak mencampurkan egoisitas dalam kepentingan negara
sehingga mengabaikan kepentingan social. Untuk memecahkan masalah ini
diperlukan agama untuk melapisi kekuasaan. Kekuasaan selalu identik dengan
“Hegemoni”(keunggulan suatu Negara atas Negara lain; kekuasaan tertinggi;
penampakan pimpinan) dan bersifat politis-pragmantis. Sedangkan agama
mengajarkan kedamain, keadilan dan tidak ekstrim. Jika kedua hal ini mampu
dikesinambungkan maka akan terwujud bangsa yang “baik”.
Posting Komentar