Retorika Abu Nadlir

Yang ditulis kan subur hidup di kalbu. Yang dikata kan cerah bermakna di jiwa. Yang diajar kan membekas dalam sejarah dan selepasnya!

Egoisitas Dalam Berkuasa

Jumat, 26 Juni 20150 comments

Judul               : Perang Tiga Trilliun Dolar
Penulis             : Stiglitz dan Bilmes
Penerbit           : Mizan, Bandung
Cetakan           : Pertama 2008.

Perang bukanlah jalan akhir untuk menyelesaikan suatu masalah. Yang didapat justru memperpanjang permusuhan antara dua Negara atau lebih yang bersitegang. Selain itu juga mengakibatkan kehancuran sehingga menyisakan penderitaan yang mendalam bagi Negara yang dijajah maupun yang menjajah terutama dalam hal perekonomian.

Sudah terhitung selama 6 tahun dari awal invasi besar-besaran Amerika Serikat ke Irak yang terjadi pada tanggal 19 Maret 2003. Dampak perekonomian di kedua belah pihak masih terus menerus mengalami resesi hingga saat ini. Penderitaan ini disebabkan oleh kejahatan perang AS dalam invasinya ke Irak yang telah terbukti melanggar tata aturan yang telah ditetetapkan oleh PBB (badan perserikatan  internasional yang mempunyai hak dalam menentukan undang-undang untuk mengatur terwujudnya perdamaian dunia). Menurut piagam PBB, suatu negara hanya boleh mengangkat senjata untuk mempertahankan diri atau jika telah telah diberi wewenang yang sah oleh dewan keamanan PBB. Kenyataan yang terjadi saat ini justru berlawanan dengan arah PBB dalam visi dan misinya. Amerika di bawah rezim George Walker Bush mengabaikan hukum internasional Jutaan peluru dan rudal yang telah diluncurkannya ke Irak seakan meremehkan tugas PBB dalam menertibkan dunia.

Dalam buku ini, Stiglitz dan Bilmes, dua orang yang telah lama mengabdikan diri menjadi pejabat politis/ teknorat dalam pemerintahan Clinton menjabarkan secara rinci dan objektif tentang biaya mahal yang harus dikeluarkan AS dan sekutunya dalam invasinya ke Irak. Bila dihitung, biaya-biaya tidak langsung yang dipikul oleh pembayar pajak Amerika, sejauh ini telah mencapai angka 3 triliun dolar selama 5 tahun atau setara dengan kira-kira 28.000 triliun rupiah dan diperkirakan akan terus meningkat. Count ini belum termasuk bunga, biaya ekonomi dan sosial yang termasuk didalamnya biaya tunjangan untuk veteran AS yang mengalami cacat (lebih dari 200.000 veteran), perawatan medis bagi yang menderita luka ringan atau yang terkena gangguan jiwa akibat perang (telah terhitung lebih dari 100.000 veteran), biaya kompensasi, pensiun dan tunjangan untuk keluarga veteran yang tewas dalam perang (lebih dari 4000 personel). Semua perhitungan biaya tersebut berdampak pada melonjaknya perekonomian dunia berupa tingginya harga energi dunia. Sebagai contoh kenaikan harga minyak yang berdampak pada Negara-negara pengimpor minyak, termasuk Negara kita, Indonesia. Adapun pihak-pihak yang lebih dirugikan dalam problem global ini adalah sekutu-sekutu tradisional AS di Eropa dan Asia.

Perubahan yang Gagal

Dahulu, sebelum terjadi penyerangan AS ke Irak dan negara-negara islam lainnya di timur tengah, AS mempunyai nama besar yang karismatik. Negara-negara di seluruh penjuru dunia memandang dan mengakui kehebatan Amerika dalam segala bidang. Dari politik, ekonomi, pendidikan, hubungan diplomasi, militer dan lain-lain sehingga disebut sebagai Negara Adidaya. Sebut saja nama-nama yang telah mengharumkan nama Amerika di kancah dunia, D. Roosevelt, John Kennedy, Bill Clinton. Kemampuan mereka yang mumpuni dalam mementingkan kepentingan social daripada egoisitas dan memperjuangkan masyarakat demi kesejahteraannya dapat merubah AS menjadi Negara yang progressif. Menurut data hasil survei  Pew Research Center pada tahun 1999-2000, negara- negara sekutu tradisional AS menaruh kekaguman pada demokrasi AS dan berperasaan positif terhadapnya melebihi perasaan negative. Seperti Inggris Raya (83%), Jerman (78%), bahkan negara-negara islam pun mengakuinya, seperti Indonesia (75%), Turki (52%), dan Maroko (77%).

Sejak terjadi serangan ke gedung WTC di New York pada tanggal 11 September 2001, Amerika mengecamnya sebagai bentuk teroris yang dilayangkan oleh Afghanistan. Sehingga timbullah dalam benak Amerika saat itu untuk membalas dendam dengan peperangan. Gencarnya AS mengungkit- ungkit tragedi WTC sebagai bentuk terrorism dan tuduhan yang tajam pada umat islam sebagai pengancam keamanan dunia telah meluas dan menerima banyak kritik khususnya dari negara-negara Islam dan umat islam di daratan Eropa dan Asia bahkan di negeri Paman Sam sendiri. Hal ini yang membuat kekaguman banyak negara terhadap AS menurun pada tahun 2007.

Bermula dari Afghanistan, kemudian merambat ke Irak dan Palestina. Pada awal mulanya tujuan Bush adalah menciptakan kawasan Tinur Tengah yang demokratis agar tercipta kedamaian yang pada saat itu masih terjadi pemberontakan oleh rezim Saddam Hussein. Tapi apakah tujuan itu hanya formalitas belaka untuk menutupi egoisitas Bush dalam menguasai perminyakan Dunia yang melimpah ruah di Timur Tengah. Kekerasan  Saddam Hussein sebenarnya tidak begitu besar, hanya saja dibesar-besarkan dan dimanipulasi oleh Bush. Keputusan gila Presiden Bush untuk menginvasi Irak adalah bencana kemanusiaan. Hal ini semakin jelas dengan fakta yang ada. Bukanlah perdamain yang didapat Irak, seperti yang telah dijanjikan oleh Bush tetapi justru kehancuran dan penderitaan. Belum selesai satu masalah, AS sudah menuduh Irak menyembunyikan senjata pemusnah massal agar AS lebih leluasa dalam agresinya padahal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan bahwa mereka tidak menemukan senjata pemusnah massal tersebut. AS seakan tidak peduli pada kerusakan yang besar karena mendapat sokongan yang kuat dari Israel (di bawah pemerintahan Ariel Sharon), Inggris (di bawah pemerintahan Tony Blair) dan Australia (di bawah pemerintahan John Howard).

Buku ini perlu dijadikan renungan oleh semua pemimpin Negara agar tidak mencampurkan egoisitas dalam kepentingan negara sehingga mengabaikan kepentingan social. Untuk memecahkan masalah ini diperlukan agama untuk melapisi kekuasaan. Kekuasaan selalu identik dengan “Hegemoni”(keunggulan suatu Negara atas Negara lain; kekuasaan tertinggi; penampakan pimpinan) dan bersifat politis-pragmantis. Sedangkan agama mengajarkan kedamain, keadilan dan tidak ekstrim. Jika kedua hal ini mampu dikesinambungkan maka akan terwujud bangsa yang “baik”.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Retorika Abu Nadlir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger