Alkisah, Syeikh Hasan Al-Bashri tinggal bertetangga dengan
seorang Nashrani. Apartemen si Nashrani tepat berada di atas apartemennya.
Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah sekalipun si Nashrani bertandang
mengunjungi kediaman Syeikh. Baru ketika Syeikh jatuh sakit, si Nashrani datang
berkunjung. Untuk pertama kalinya.
Ketika menjenguk itulah si Nashrani baru tahu betapa
sederhana kehidupan Syeikh yang sangat terkenal kesabarannya itu. Tapi yang
lebih menarik bagi si Nashrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh
yang terletak tak jauh dari ranjang tidur syeikh. Apalagi ketika itu terdapat tetesan
air dari atas baskom tersebut. Spontan si Nashrani teringat kamar mandinya yang
ternyata terletak tepat di atas posisi baskom. Dengan ragu-ragu dia pun
bertanya: “Syeikh, baskom apa itu?” “Ah,
baskom itu, sekedar untuk menampung air,” jawabnya dengan nada datar. “Kalau
penuh, tinggal dibuang.”
“Berapa
lama Syeikh melakukan ini?” sedikit gemetaran si Nashrani melanjutkan tanyanya.
“Maksud saya menampung tetesan air dari atap apartemen syeikh?” “Sudah dua
puluh tahun. Jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nashrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui
ketuhanan Sang Maha Rahman dan Muhammad sebagai utusannya.
Cerita ini bagi kita lebih terdengar dongeng bukan? Ini
adalah salah satu dari sekian banyak spirit mulia yang dibawa Rasulullah yang
diwujudkan oleh para ulama’ pengikutnya dalam bertetangga yang rukun.
Tak banyak dari kita yang mengalami kondisi kehidupan semacam
ini. Bertetangga dengan umat penganut kepercayaan lain bukanlah pilihan utama. Buktinya,
banyak dari kita yang secara tidak sadar merasa superior atas yang lain. Merasa
bahwa agama yang kebetulan dipeluknya sebagai entitas terbaik dan sempurna.
Wacana pluralisme yang bergulir hanyalah sebatas wacana. Pelajaran tanpa
pengalaman terasa hampa, begitu kata sebagian orang.
Bagi seorang perfeksionis, tak ada gunanya mengagungkan
sebuah kesempurnaan tanpa pernah bisa membumikannya, tersentuh secara fisik dan
tak kasta mata. Singkatnya, wacana itu diharapkan tidak sebatas angan dan akan
berguna bagi yang berada di sekelilingnya. Jika demikian, melakoni wacana
dengan mempraktekkannya bisa jadi salah satu solusi arif bagi kita untuk
benar-benar membumikan wacana yang hanya sekedar wacana tersebut, sekedar
pengimbang agar yang ada dalam benak kita tidak termarjinalkan lantaran pengalaman
konkrit kita yang jauh dari kenyataan. Selamat menjalani.
Posting Komentar