Al-Ghazali,
seorang tokoh sufi dan pemikir yang sangat jenius, dan karena keluasan ilmunya
beliau mendapat gelar hujjat al-Islam. Dalam karya monumentalnya, Ihya
Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) al-Ghazali membahas berbagai
macam persoalan secara komprehensif. Karena begitu luas, dalam, dan detilnya
kajian dalam kitab ini, sampai-sampai ada yang memberikan sanjungan bahwa “kaada
al-ihya an yakuuna qur'aanan”, artinya kitab Ihya (Ulum al-Din) hampir-hampir menyamai
al-Qur'an.
Salah
satu yang menjadi topik bahasan al-Ghazali di dalamnya adalah tentang ilmu.
Dalam topik ini al-Ghazali membahas secara komprehensif tentang keutamaan ilmu,
keutamaan belajar, dan keutamaan mengajar.
Berkaitan
dengan penguasaan ilmu, al-Ghazali mengklasifikasikan manusia ke dalam empat
golongan yang dikutipnya dari al-Khalil Ibnu Ahmad yaitu: pertama, rajulun
yadrii wa yadrii annahu yadrii (orang yang tahu dan dia tahu bahwa dia
tahu). Dari kalimat tersebut kita tarik dalam pencarian tentang hakikat dari
ulama’ maka inilah
ulama yang sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan harus diikuti.
Karena kesadaran akan kemampuan intelektual yang dimilikinya, orang seperti ini
akan menjalankan fungsinya sebagai pendidik masyarakat dan menjadi pemimpin
umat.
Kedua,
rajulun yadrii wa laa yadrii annahu yadrii (orang yang tahu, tapi dia
tidak tahu bahwa dia tahu). Orang seperti ini diibaratkan al-Ghazali dengan
orang yang sedang tertidur dan harus dibangunkan. Dia tidak sadar bahwa dirinya
mempunyai kemampuan intelektual yang menuntut tanggungjawab untuk menyebarkan
ilmu yang dimilikinya.
Ketiga,
rajulun laa yadrii wa yadrii annahu laa yadrii (orang yang tidak tahu,
dan dia tahu/sadar bahwa dia tidak tahu). Orang seperti ini adalah orang yang
membutuhkan petunjuk dan harus diberikan pelajaran yang dapat menjadi petunjuk
baginya. Dan karena kesadaran akan ketidaktahuannya, ia akan mudah menerima
pengertian yang diberikan kepadanya.
Keempat,
rajulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadrii (orang yang tidak
tahu/bodoh, dan dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu). Orang seperti ini sangat
berbahaya karena dia merasa bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya tidak tahu,
sehingga sulit untuk memberikan pengertian kepada orang semacam ini karena ia
bersikap congkak dan merasa sudah tahu. Pengertian yang coba untuk diberikan
akan selalu ditolaknya karena perasaan tinggi dirinya itu.
Al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam yaitu ilmu al-mahmud (ilmu yang baik)
dan ilmu al-madzmum (ilmu yang tercela) lengkap dengan hukum-hukum mempelajarinya.
Tentang keutamaan ilmu, al-Ghazali mendasarkannya pada ayat-ayat al-Qur'an
antara lain: QS. Ali Imran: 18, al-Mujadilah: 11, al-Zumar: 9, Fathir: 28 dan
Hadits Nabi antara lain: Ulama adalah pewaris para Nabi, Iman itu dalam keadaan
telanjang, pakaiannya adalah taqwa dan perhiasannya adalah ilmu, Orang yang
paling dekat derajatnya dengan derajat kenabian adalah orang yang berilmu dan
melakukan jihad.
Ilmu
dapat mengangkat derajat manusia dan membedakannya dengan makhluk yang lain.
Untuk menjaga kelestarian dan mengembangakan ilmu, agama memberikan credit
point tersendiri kepada orang-orang yang intens terhadap ilmu, sampai-sampai
Nabi mengatakan bahwa orang yang beilmu (ulama) adalah pewaris para Nabi. Para ulama mendapat pujian yang sangat mengagumkan karena
perjuangannya dalam menyebarkan ilmu. Dan karena intensitas ulama dalam
penyebaran ilmu ini pula mereka menempati posisi yang strategis dalam
masyarakat, bahkan kadang diperlakukan secara berlebihan.
Perlakuan
berlebihan ini misalnya dapat kita lihat dari kenyataan sebagian masyarakat
yang sampai mengkultuskan ulama tertentu bahkan menjauhkannya dari sifat-sifat
kemanusiaan yang sangat mungkin melakukan kesalahan. Sehingga --kalau di Jawa--
yang muncul adalah apa kata kiai fulan saja. Ini sangat membahayakan karena
sikap ini telah menjurus pada sikap pemberhalaan.
Penulis
mengatakan pemberhalaan karena setiap sesuatu yang merampas kemerdekaan manusia
adalah berhala. Oleh karena itu sikap-sikap kultus individu ini harus
ditanggalkan dan menggantinya dengan sikap kritis dan memandang siapa pun
dengan melekatkan padanya sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah).
Nabi
Muhammad sendiri pun dalam al-Quran diperintahkan agar mengingatkan sifat-sifat
kemanusiaannnya kepada umatnya. Katakan (Muhammad): Sesungguhnya aku ini
adalah seorang manusia seperti kamu..., (al-Kahfi: 110). Ini dimaksudkan
agar Nabi Muhammad tidak dikultuskan oleh para pengikutnya yang sekaligus
adalah bantahan yang sejak awal diberikan agar Islam tidak sebut Muhammedanism
sebagaimana yang dilontarkan oleh sebagian orientalist.
Celakanya
kadang-kadang ulama' sendiri tidak mengetahui batas kewenangannya atau bahkan
dengan sengaja mengaburkannya, sehingga masyarakat memahaminya secara salah
dengan menganggap kewenangan ulama sampai pada kewenangan agama. Kalau
diartikan secara literal, alim-ulama berarti orang yang berilmu. Dari sini
sangat jelas bahwa kewenangan ulama adalah kewenangan ilmu, bukan agama.
Masalah surga-neraka adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Karena batas
kewenangan ulama ini maka adalah tidak benar kalau ada ulama yang memberikan
fatwa melewati batas kewenangannya itu. Misal, yang pernah muncul adalah fatwa
seorang ulama tentang kehalalan darah seseorang karena ada interest politik
tertentu dengan menjanjikan kredit point masuk Surga bagi yang mau dan mampu
melakukannya. Ini adalah fatwa yang sesat dan menyesatkan (dlalla wa adlalla)
dan sudah sangat jauh dari batas kewenangan seorang ulama. Ada juga yang
memberikan fatwa yang sesungguhnya sangat kental dengan nuansa politik
dukung-mendukung yang dibungkus dengan bahasa agama.
Jadi
kewenangan ulama berbeda dengan kewenangan seorang Paus atau Pastur. Seorang
Katholik tidak boleh memprotes Pastur apalagi Paus, karena hal itu bisa
menyebabkannya masuk ke Neraka, karena Paus mempunyai kewenangan agama berbeda
dengan ulama.
Dua Macam Ulama
Oleh
karena itu, walaupun banyak mendapatkan pujian, bukan berarti ulama lepas dari
kritik. Dengan sangat kritis al-Ghazali mengklasifikasikan ulama ke dalam dua
golongan yaitu ulama al-khair (ulama yang baik) atau ulama al-akhirat, dan
ulama' al-suu' (ulama yang jelek). Ulama al-suu juga disebut sebagai ulam'
al-dunya (ulama --yang suka-- duniawi). Ciri-cirinya terlihat dari tujuan dari
penguasaan ilmu adalah karena ingin memperoleh kenikmatan dunia semata,
mengejar jabatan dan kedudukan untuk kepentingan sendiri. Dia memanfaatkan
ilmunya untuk melapangkan jalan menuju tujuan duniawinya dengan jalan apa pun,
walaupun harus mengorbankan umat.
Tentang
ulama' al-suu' ini, al-Ghazali mendasarkannya pada hadits Nabi yang
mengatakan bahwa pada akhir zaman nanti akan muncul orang-orang yang tekun
menjalankan ibadah akan tetapi sangat bodoh dan juga orang-orang yang pandai
(ulama\') akan tetapi fasik. Menurut al-Ghazali orang yang disebut terakhir
inilah yang nanti di hari kiamat akan mendapatkan siksa yang paling berat,
karena mereka ini adalah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan. Mereka berpredikat
ulama, akan tetapi keulamaan tersebut dijadikan sebagai alat untuk membodohi
umat, bukan untuk mencerdaskan dan memberdayakan umat. Karena itu, setiap
pribadi dituntut untuk bersikap kritis kepada siapa pun, dan jangan memandang
sesuatu dari bungkus luar atau formalnya saja.
Posting Komentar