Oleh: Muhammad Abu Nadlir
Kedua isme di atas seringkali dijadikan sebuah wahana kontroversi oleh banyak ilmuan yang condong pada salah satu pihak. Sehingga dalam berbagai ilmiah kedua simpatisan dari kedua belah pihak saling beradu argumentasi yang tidak juga dapat diselesaikan.
Dalam keadaan semacam ini Al-Qur’an tampil dengan menyajikan pandangan-pandangan moderat sebagai palletive dan penyelesaian atas pertikaian dua isme di atas.
Satu contoh seorang sarjana yang bernama Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul Tekstualitas Al-Qur’an terbitan LKiS menyekinkan bahwa bahasa Al-Qur’an sebagian besar adalah simbolik yang maknanya bisa dicari melalui perjuangan. Karena itu, hakikat kemutlakan berfikir dalam sejarah Islam bagi Nasr Hamid harus ditegakkan tanpa syarat kecuali sifat-sifat ketuhanan itu sendiri yang harus dijadikan inti etika dalam Islam.
Tentu saja yang dimaksud mencari makna simbolik melalui pemikiran dan akal. Artinya dalam suatu potensi manusia yang berkemampuan untuk mengetahui cosmos secara teoritis akal adalah merupakan suatu titik timbang yang cermat yang hasilnya pasti dan dapat dipercaya, demikian menurut Ibnu Khaldun seorang sosiolog Muslim dan filsuf Muslim.
Al-Qur’an memang bukan merupakan buku filsuf dan bukan pula buku ilmu pengetahuan, tetapi ia adalah kitab suci alias Wahyu Ilahi yang dipandang sebagai sumber dari sebagi macam ilmu dan tempat rujukan semua masalah kehidupan meliputi semua prinsip yang menyangkut kehidupan manusia dari yang amat personal sampai terhadap interaksi jagar raya yang begitu kompleks dan rumit.
Selain itu, Al-Qur’an adalah mu’jizat pemberian Allah yang amat besar faidahnya bagi manusia. Al-Qur’an diturunkan Allah untuk menunjukkan kebesaran-Nya dan membimbing manusia kejalan yang lurus, mengingatkan kerja jiwa manusia, membangun angan-angan manusia dan menjernihkan fikirannya.
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang tak seorangpun mampu menghasilkan sebuah karya tulis sepertinya. Di zaman kehidupan Rasulullah banyak master-master bahasa atau satrawan-sastrawan Arab mencoba menulis kitab-kitab yang diharapkan mampu menandingi Al-Qur’an akan tetapi pada kenyataannya tak seorang pun yang bisa, baik dalam implikasi maupun stylenya, bahkan di zaman sekarang yang supra modern pun mustahil bila ada satrawan yang karyanya bisa membandingi keindahan Al-Qur’an.
Diatas dijelaskan bahwa Al-Qur’an adalah pedoman atau pegangan hidup, ia merupakan konsep dan program kehidupan yang harus diwujudkan dalam lingkup masyarakat. Al-Qur’an mempunyai implikasi petunjuk-petunjuk praktis tentang bagaimana manusia harus berbuat di dalam kehidupan agar nilai-nilai universal kemanusiaan dan berfikir bisa ditegakkan dengan sebaik-baiknya sesuai engan maksud dan tujuan diturunkannya.
Dalam buku Tektualitas Al-Qur’an, Nasr Hamid memberikan pengarahan, bahwa ketika Al-Qur’an diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad SAW, tentu memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh umat dimana dia diturunkan. Sehubungan dengan proses pewahyuan Al-Qur’an yang berlangsung di Arab, maka dia menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar makna yang terkandung di dalam nash Ketuhanan. Oleh itu, (kata Nasr Hamid) pemahaman Al-Qur’an sebagai nash tidak dapat kita pisahkan dengan masyarakat dan peradaban bangsa Arab. Sedangkan Al-Qur’an yang kita lihat dan kita baca sekarang, merupakan nash Tsaqafi atau teks peradaban yang dipengaruhi oleh perkembangan peradaban Arab pada saat itu (al-tasyakul), dan selanjutnya nash ini berfungsi sebagai penuntun menuju peradaban yang baru (al-yasykil).
Dan di Tekstualitas Al-Qur’an ini pula, Nasr Hamid menggunakan salah satu metode pendekatan dalam permasalahan ini yaitu metode pendekatan sastra atau semantik. Memang hal ini sangat mengundang kontroversi dari kalangan Ulama’ kita. Tentunya bukan karena aliran sastra atau metode semantiknya yang dipermasalahkan, melainkan perlakuan mereka yang “tidak wajar” terhadap teks Kitab Suci. Bahkan gaya interpretasi serupa sudah banyak dilakukan oleh Ulama’ kita seperti ‘Abd Al-Qadir Al-Jurjani yang mencoba membagi isti’aarah di dalam Al-Qur’an, menjadi isti’aarah tahqiqiyah tahririyah dan isti’aarah takhayyuliyah mumkinah. Meskipun demikian, klasifikasi ini tidak mengundang kontroversi, malah justru sebaliknya akan memperkaya khazanah intelektual kita.
Menurut Nasr hamid, pendekatan sastra semantik merupakan satu-satunya metode yang paling sesuai dengan objek kajian teks Kitab Suci yang penuh dengan nilai sastra, dan diakui baik pada zaman pewahyuan maupun sekarang ini.
Secara objektif, kita akaui bahwa ada sisi yang patut diambil dari gaya pemaparan Nasr Hamid dalam buku Tekstualitas Al-Qur’an ini, sayangnya sisi negatifnya lebih banyak.
Nilai positifnya, dia salah satu contoh pemikir yang mempunyai kepedulian sosial, sehubungan dengan bidang yang ia geluti. Artinya, dalam kaitannya sebagai sosok pemikir, dia mencoba menghubungkan fenomena sosial dengan nash yang ada, sehingga memungkinkan adanya interpretasi lain yang lebih sesuai dengan konteks sosio-kultural di sekelilingnya. Sebagai contoh, zakat yang harus dikeluarkan dari harta seorang mukallaf, apakah harus terikat sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an atau membuka perluasan pemahaman baru dengan menganalogikan ke beberapa bentuk materi yang tidak termasuk dalam kategori nash? Tinjauan semacam ini perlu mendapat respon dari kita, khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum, sehingga tidak lepas dari maqashid syari’ah. Untuk menyingkapi kemungkinan ini, kita harus banyak menengok kembali khazanah pemikiran Ulama’ terdahulu, ditinjau dari berbagai perspektifnya. Masalah ibadah, misalnya, mesti dibedakan antara ibadah mahdloh (muamalat) yang mempunyai relasi horizontal dengan sesama makhluk. Dengan kata lain, ibadah ghayru mahdloh ini mempunyai muatan-muatan kondisional yang tidak boleh kita kesampingkan begitu saja.
Dari premis ini, Nasr Hamid menawarkan solusi pemikiran yang-menurutnya selama ini seorang mujtahid atau mustanbith hukum hanya memproyeksikan sebuah nash dengan metodologi yang dianut, tanpa memperhatikan sisi realita umat yang sangat variatrif. Ehingga kalau terjadi perbedaan dalamhasil istinbath yang dilakukan oleh para mujtahid, mereka sibuk mempermasalahkan metode, bukan upaya aplikatifnya dalam menyingkapi ploblematika yang muncul dalam fenomena umat. Sebenarnya kalau kita mau jujur, permaslahan yang lebih esensial terletak pada kemaslahatan hasil ijtihad tersebut. Tawaran Nasr Hamid ini, pada dasarnya telah diangkat oleh para Ulama’ sebelumnya, Cuma temperamen seorang mustanbith kadang lebih mendominasi dirinya, sehingga belum terealisasi secara penuh.
Setelah diuraikannya nilai positif yang bisa diambil, maka di sini juga akan menjelaskan kelemahan-kelemahan yang termaktub dalam buku Tekstualitas Al-Qur’an ini.
Dalam Tekstualitas Al-Qur’an ini, kita akan melihat bahwa dia banyak terpengaruh pemikiran Barat. Dia sering memasukkan kosa kata yang sebenarnya tidak sesuai dalam literatur ilmu pengetahuan Islam yang membawa muatan-muatan tertentu. Sebagai contoh, kata ideologiya dalam tuduhannya terhadap Imam Syafi’i. Kosa kata yang jarang dipasang dalam literatur Islam ini sedikit banyak akan mempengaruhi pemahaman teks, atau bisa jadi sebagai lat untuk memanipulasi interpretasi yang sebenarnya, kalau hal ini menjadi strarting pointnya, maka Nasr Hamid tidak akan lepas dari apa yang dituduhkan oleh para ulama’ Mesir pada tahun 1994 sebagai pemikir yang telah “murtad”. Lebih jauh, Nasr Hamid menghubungkan proses pewahyuan Al-Qur’an yang tidak lepas dari asbab al-nuzul dan keikutsertaan masyarakat Arab pada saat itu. Dari ini maka akan menimbulkan kesimpulan bahwa nash diwahyukan mengikuti kondisi dan situasi tertentu, atau juga menyertakan andil makhluk, yaitu rasulullah SAW dan para Sahabatnya, dalam menentukan substansi sebuah nash. Kesimpulan ini sangat fatal dalam mendefinisikan Kitab Suci Al-Qur’an itu sendirim dan praeksitensinya sebagai Kalam Allah yang azali.
Dalam buku Tekstualitas Al-Qur’an ini, karena Nasr Hamid memakai pendekatan sastra sebagai sandaran awal atas interpretasi selanjutnya. Maka salah satu ciri kajiannya selalu mendahulukan peranti-peranti indrawi. Selanjutnya diarahkan pada metode pemahaman semantik dan baru pada akhirnmya menuju pemahaman teks secara tekminologis. Sistem kajian seperti ini, terkenal terlalu subjektif dan tidak mengenal nilai-nilai objektivitas sebuh objek kajian, termasuk di dalamnya Al-Qur’an. Dalam arti lain, Nasr Hamid menggunakan sistem kajian “bebas nilai”, yakni Al-Qur’an sebagai objek kajian berkedudukan sama dengan teks-teks apap-pun sebagai mata kajian, baik yang memiliki muatan religius maupun nonreligius. Karena, menurut sisitem ini, semua teks terbuka untuk dikaji, dikritik ata kalau perlu diubah, sampai bisa diangggap tepat dengan alur metodenya. Beberapa postulat dan dalil yang dirasa kurang sesuai dan tidak mendukung kajiannya, akan dibuang begitu saja.
Walaupun begitu, melalui buku ini diharapkan kita akan mengetahui bahwa Al-Qur’an bukanlah mantera dan dalil-dalil mati dan bukan pula lampu Aladin yang bisa merubah keadaan dalam sekejap mata. Ia adalah petunjuk, konsep dan program hidup praktis, yang harus dijelma melalui implementasi konkrit. Kenyakinan kita akan ajaran Islam sebagai suatu konsep kehidupan lengkap dan sempurna (QS. Al-Maidah) harus kita buktikan dengan sikap hidup yang respek dan dinamis. Dengan demikian kita tidak perlu berpredikat formalis dan bertindak secara kreatif dan dinamis berdasarkan konsep Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menyimpan begitu banyak dan lengkap sumber-sumber ilmu pengetahuan.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa, ajaran Islam itu sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang menjadi fitrah manusia (Q.S Ruum: 30). Oleh karenanya jalan terbaik untuk berfikir secara merdeka, terlebih dahulu kita memahami (memikirkan) kenyataan-kenyataan yang menjadi fitrah manusia baik mengenai nilai-nilai kebebasan maupun nilai-nilai perkembangan intelektualnya , kecenderungan positif dalam evolusi kehidupannya maupun kenyataan-kenyataan manusia lainnya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 251 juga menjelaskan yang maksudnya: “apabila Allah tidak menciptakan manusia tolak menolak dam ide, gagasan dan fikiran antar sesamanya niscaya bumi ini akan rusak”.
Judul Buku : TEKSTUALITAS AL-QUR’AN, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an
Pengarang : Nasr Hamid Abu Zaid
Peresensi: Muhammad Abu Nadlir
NB: resensi ini juara III Resensi Nasional di HIMAFA Universitas PARAMADINA
Posting Komentar