Oleh: Muhammad Abu Nadlir
Namun, saat ini event kemerdekaan Indonesia merupakan (mungkin untuk sementara atau sebagian orang) sebuah hal yang diambil secara tersirat. Maksudnya, rakyat Indonesia hanya tahu bahwa pada tanggal 17 Agustus itu adalah hari kemenangan Indonesia atas kemerdekaannya, yang hanya cukup diperingati dengan cara mengibarkan bendera baik di rumah maupun jalan-jalan, menghias kampung dan desa dengan beraneka ragam variasi, dengan upacara bendera atau apel pagi dan sekaligus dengan adanya lomba-lomba yang meriah setelahnya. Semua itu seperti sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia.
Mungkin, anggapan yang ada dibenak mereka mengatakan bahwa inilah bukti rasa nasionalisme dan terima kasih kepada negara Indonesia dan bahwa saat ini bukanlah masa berjuang lagi seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita, cukup memperingati, menghormati dan ikut merasa memiliki sudah menunjukkan wujud rasa kecintaan kita terhadap para pejuang bangsa dan negara Indonesia.
Revolusi belum berakhir. Begitulah kutipan pidato Soekarno ketika menyampaikan Amanat kenegaraan terakhirnya sebagai Presiden Replubik Indonesia pada Ulang Tahun Peoklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-21 di Jakarta.
Apa yang dikatakan Bung Karno memang benar, apalagi melihat masa depan Indonesia yang akan kita hadapi, sudahlah mulai menampakkan gejala-gejala yang menunjukkan akan datangnya masa yang lebih berat. Berat disini bukan saja oleh karena gejala-gejala dari luar yang memang dengan adanya globalisasi telah menunjukkan akan tambahnya gangguan imperalisme kepada kita sebagai bangsa dan negara, tetapi juga oleh dari dalam, bisa dilihat dengan terjadinya revolusi-revolusi baru yang keluar dari orang-orang dan hal-hal yang “anti”, mulai dari yang radikal, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Bukti bahwa revolusi belum berakhir bisa kita ketahui dengan adanya pertentangan yang tidak habis-habisnya antara pemerintah dan oposisi; pertentangan antara partai dengan partai; pertentangan antara golongan dengan golongan. Dan kenarin ketika maraknya Pemilihan
Umum, negara kita berubah menjadi arena pertarungan politik dan adu kekuatan. Nafsu individualisme dan egoisme meraja lela, nafsu serang-menyerang memasuki konsep pikiran rakyat Indonesia dengan berusaha menonjolkan kebenaran sendiri, nafsu berontak-memberontak melawan pusat dan mereka mulai keblinger dengan “demokrasi” yang menjadikan nilai-nilai sejarah nasionalisme para pejuang negara hilang.
Menoleh Ke Sejarah
Persoalan diatas tidak akan terjadi bila kita selaku bangsa Indonesia mengetahui bahwa nasionalisme merupakan pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu.
Bagaimana solusinya? Maka sejarah lah senjata yang paling pamungkas untuk menumbuhkan rasa nasionalisme kita sebgai bangasa Indonesia, dengan melihat, mengetahui sejarah dan sekaligus menjadikannya panutan akan menjadikan kita bekerja terus dan berjuang terus untuk mewujudkan revolusi yang lebih baik dari sebelumnya.
Karena Indonesia bila diibaratkan seperti perahu yang mengarungi samudra tofan yang amat dahsyat, dan sejarah adalah samudra yang dahsyat itu. Bila kita mengenal sejarah maka kesimbangan suatu negara, kesatuan dan nasionalismenya akan menjadi kokoh dan tidak akan pernah rapuh
Dan dengan menolehkan pandangan kita lebih jauh lagi ke sejarah, maka kita kan menjadi mawas diri untuk menghadapi permasalahan bangasa yang akan datang.
Posting Komentar