Setiap warga Indonesia mengetahui bahwa tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia, dan sekarang adalah tahun ke-64 dari hari bersejarah itu. Hari bersejarah yang merupakan hari dimana kebangkitan nasional yang paling diinginkan dan diperjuangkan oleh para patriot bangsa atas penindasan dan penjajahan bangsa asing.
Bisa dipastikan warga Indonesia tidak akan bisa melupakan hari itu, hal ini terbukti dengan dikibarkannya bendera merah putih baik di rumah maupun jalan-jalan, dihiasinya desa dan kampung dengan beraneka ragam variasi, diadakannya lomba-lomba yang meriah dan yang paling urgen adanya upacara bendera tepat di pagi tanggal 17 Agustus itu, hari kebebasan atas belenggu penjajah. Semua itu merupakan reminder (pengingat) yang sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kemerdekaan seringkali kita maknai sebagai lepas dari belenggu penjajah, dan kita telah berhasil mewujudkannya 64 tahun yang lalu. Tetapi kemerdekaan dalam artian seperti itu ternyata belum memadai dalam konteks kekinian. Karena saat ini Indonesia masih di tengah cengkeraman penjajah. Tetapi berbeda motif, modus dan gayanya. Bukan lagi mengokupasi wilayah secara fisik,tetapi meremote lewat jejaring ekonomi global, sketsa politik internasional, gurita informasi, dan destruksi moral generasi. Pelakunya bukan portugis, inggris atau belanda, tetapi konsorsium global beranggotakan lintas negara dan lintas benua.
Buktinya, adanya pertentangan yang tidak habis-habisnya antara pemerintah dan oposisi; pertentangan antara partai dengan partai; pertentangan antara golongan dengan golongan. Dan kemarin ketika maraknya Pemilihan Umum, negara kita berubah menjadi arena pertarungan politik dan adu kekuatan. Nafsu individualisme dan egoisme meraja lela, nafsu serang-menyerang memasuki konsep pikiran rakyat Indonesia dengan berusaha menonjolkan kebenaran sendiri, nafsu berontak-memberontak melawan pusat dan mereka mulai keblinger dengan istilah “demokrasi” yang ada saat ini.
Disinilah nasionalisme sebagai perwujudan wawasan kebangsaan sangat diperlukan.. Apabila dewasa ini banyak tokoh melontarkan pentingnya nasionalisme, karena hal ini merupakan refleksi dari keprihatinan dan kewaspadaan terhadap bahaya disintegrasi maupun tergoncangnya persatuan nasional kita. Apalagi menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu:.
Hasrat untuk mencapai kesatuan, Hasrat untuk mencapai kemerdekaan., Hasrat untuk mencapai keaslian, Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.
Dari pengertian ini sudah jelas bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Kemudian, bagaimana mewujudkannya? Apa dengan perang?.
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia adalah intropeksi diri dengan melihat pada sejarah perjuangan Indonesia, dan sekaligus menjadikannya panutan sebagai tolak ukur untuk Indonesia selanjutnya, menjadi mawas diri untuk menghadapi permasalahan bangsa yang akan datang dan terciptanya nasionalisme yang utuh.
Intropeksi diri dapat direalisasikan melalui peningkatan fungsi dan peran pemimpin, eksekutif, legislatif, yudikatif, pelaksana, sarana, ilmu pengetahuan, manajemen, teknologi, dalam hal kualitas, profesionalisme, kehandalan, kecerdasan, karakter, dan sebagainya, dengan menanamkan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa-biarpun kita berbeda-beda, sesungguhnya kita satu, tiada kewajiban mendua.
Itulah tantangan besar sekaligus tuntutan peran pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, agar bisa membangun peradaban baru dalam sebuah Indonesia Baru, dengan mensinergikan segala kekuatan bangsa untuk melawan bentuk penjajahan baru, penjajahan global dalam semua aspek: politik, ekonomi dan kebudayaan. Jadikanlah tahun 2009 ini sebagai momentum intropeksi nasionalisme dengan mengaktualisasikan ‘Tri Sakti Jiwa Proklamasi’: “berdaulat dibidang politik, mandiri dibidang ekonomi, dan berkepribadian nasional Indonesia”.
Posting Komentar