Oleh: Muhammad Abu Nadlir
Hasan Hanafi merupakan tokoh penyeru “teologi pembebasan” dan transformasi, yang terejawantahkan lewat mega proyeknya Al-Yasar Al-Islami, Revitalisasi Turats hingga oksidentalisme, yang lahir sebagai refleksi dari kekacauan suasana sosial-politik dan intelektual di dunia arab pada saat itu, yang sangat penting untuk dikaji.
Khususnya apa yang tercermin dalam gagasannya Al-Yasar Al-Islami dan Revitalisasi Turatsnya, yang banyak mengandung paradigma-paradigma Islam Radikal, dan juga mengandung butir-butir besar, orisinil, radikal dan kontroversi. Hal ini sangatlah perlu bagi kita yang sedang bergumul dalam mencari beberapa alternatif pemikiran Islam yang mungkin akan menjadi relevan dengan pembangunan pemikiran keislaman di tanah air kita.
Untuk mengenal lebih jauh lagi tentang pemikiran dari Hasan Hanafi, maka perlu bagi kita untuk mengetahui dan mengetengahkan sosok Hasan Hanafi dari background, sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi ide-ide dari Hasan Hanafi. Terutama yang menyangkut pembahasan tentang Revitalisasi Turats.
II. BIOGRAFI, KARYA DAN INTELEKTUALNYA
Mendengar orang menyebut Hasan Hanafi, sudah tentu adalah sebuah nama besar yang telah tertancap di indonesia dengan gagasannya mengenai “Islam Kiri” (tetapi non-Marxis). Seorang tokoh yang dilahirkan di kota kairo, 14 Februari 1935 M ini berasal dari Bani Sumayf, sebuah provisi yang berada di Mesir dalam. Dia juga mempunyai darah Maroko, karena kakeknya berasal dari Maroko.
Hanafi sewaktu kecil adalah seperti masyarakat Mesir yang lainnya, yaitu memperoleh pendidikan agama yang cukup. Pendidikan dasar dan tingginya ia tempuh di kota kelahirannya. Sedangkan gelar doktorat ia raih pada 1966 di Universiti Sorbonne, Paris, Perancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d’exegese (Essai Tentang Metode Penafsiran).
Pada 1971, disertasi ini memperoleh hadiah sebagai karya tulis terbaik di Mesir. Dari Paris, ia kembali ke almamaternya, Universitas Kaherah dan mengajar Falsafah Islam. Ia kini dipercaya sebagai pengajar bagi jurusan program tersebut.
Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaharuan rekonstruksi Islam yang disusunnya dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaharuan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kelangsungan dari gagasan Al Urwatul Wutsqonya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Menurutnya, penggunaan nama ‘kiri’ sangat penting kerena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, Islam Kiri adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.
Hanafi berpendapat Islam Kiri merupakan hasil dari gerakan-gerakan kaum Muslimin di Afghanistan, Nusantara, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Algeria untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di belahan tersebut ingin memelihara keaslian dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi Islam kiri adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak permasalahan zaman ini yang berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman luaran, sementara kemiskinan, ketertindasan dan kemunduran sebagai ancaman dalaman.
Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, seorang Muslim tidak boleh mengharapkan kebaikan dari pihak lain. Justeru, untuk dapat mengubah keadaan tersebut, yang mendesak untuk dilakukan oleh umat Islam adalah rekonstruksi (I’adah Bina/pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia telah terjadi kebekuan pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam.
Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan (legasi) dan tradisi klasik dalam piawai modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran kembali terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.
Dengan usaha ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi cabaran barat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kenaifan, pengekangan kebebasan berpendapat, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh jurang kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Keadaan tersebut seharusnya diubah.
Yang terjadi selama ini adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab cabaran zamannya, justeru menguatkan ketidakadilan tersebut. Tradisi macam inilah yang ia sebut sebagai ‘Islam kanan’.
Dalam menghadapi Hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma fikir yang ia sebut oksidentalisme–cara memandang Barat–sebagai anti-tesis orientalisme Barat. Untuk ini, ia menulis buku khusus berjudul Muqaddimah fi ‘Ilmi Istighrab. Ia mengajak umat Islam mengkritik hegemoni budaya, politik, dan ekonomi Barat, yang terbina di balik kajian orientalisme.
Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti kepopuleran imperalisme budaya yang disebut Barat melalui medianya dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan kosmopolitan. Bahkan, orientalisme dijadikan semulus mungkin untuk melancarkan penerusan kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam).
Kemudian timbul sebuah pertanyaan, Apakah dengan oksidentalisme ini Hanafi berhasrat merebut kekuasaan orientalisme? Tidak! Hanafi menulis, oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkaman kolonialisme orientalis. Menurut Hanafi, ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan neutral dibandingkan dengan ego orientalisme. Oksidentalisme sekedar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Dengan oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya perwakilan (kekuatan) dunia.
Demikianlah Hasan Hanafi, Sekurang-kurangnya dia pernah menulis 20 buku dan puluhan makalah ilmiah yang lain. Karyanya yang popular ialah Al-Yasar al-Islami (Islam kiri), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Ternyata, Hasan Hanafi bukan sekadar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.
A. Setting Sosial Gagasan Hasan Hanafi
Hasan Hanafi harus diakui merupakan seorang intelektual Muslim berkebangsaan Mesir yang sangat produktif. Meskipun di negaranya sendiri ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok islam konservatif-skripturalis.
Setting sosial gagasan Hasan Hanafi pada dasarnya coba diletakkan pada analisis sejarah sosial dan kekuatan-kekuatan sosial yang melahirkan sejumlah gagasan besar. Perangkat metodologis yang hendak dipakai adalah, meminjam analisis semiotika sosial, yang didalamnya dikenal tiga konteks: konteks situasi, konteks sosial dan konteks budaya.
Konteks situasinya adalah kristalisasi konstruksi nalar hanafi yang diperolehnya dari khazanah intelektual Islam dan ilmu-ilmu sosial Barat serta respon subyektifnya terhadap kondisi obyektif yang menimpa dunia Islam. Konteks sosial merupakan setting sosial politik negara Mesir pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Terlebih adanya pergolakan sosial politik di Mesir pasca Perang Dunia II, dan munculnya beberapa kelompok ekstrem seperti sayap kiri di mana terdapat Partai Komunis yang dipengaruhi oleh Sovyet yang pernah merangsang minat kaum muda dan akademisi untuk mempelajari komunisme, serta sayap kanan dimana terdapat kelompok al-ikhwan al-muslimin yang didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Bana (1929). Sedangkan konteks budaya lebih berkaitan dengan munculnya peradaban global yang melingkupi kedua konteks pertama.
Basis sosial Hasan Hanafi adalah kondisi obyektif dunia Islam pada umumnya yang masih mempresentasikan diri dengan simbol-simbol: keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, sebagai musuh internalumat. Sementara kapitalisme global dengan sejumlah tawaran-tawaran estetisnya berupa proyek rasionalisasi dan sistem pengorganisasi sosial yang bersifat absolut sebagai penggolongan kebebasan manusia yang bersifat tunggal dan hegemotik. Realitis ini menghadapkan dunia Timur pada situasi yang dilematis. Di satu sisi dihadapkan untuk menerima kapitalisme global dengan segala implikasinya sebagai keniscayaan sejarah, sementara disisi lain, kondisi obyektif dunia Timur (Islam) masih diselimuti oleh problem internal berupa “ketidaksiapan” sosiologis maupun epistimologi sebagai basis dari kebudayaannya. Kondisi obyektif dunia Timur yang serba terbelakang ini oleh Hasan Hanafi dikontraskan dengan diktum idealis yang menyebutkan masyarakat Islam sebagai “sebaik-baik umat”. Kontras antara ideal dan fakta, nilai dan praktis tersebut menggelisahkan komitmen moral intelektual Hasan Hanafi.
B. Revitalisasi Turats
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa Islam Kiri adalah sebagai “akar” dari proyek Hasan Hanafi yang terbesar Al-Turats Wa Al-Tajdid (Tradisi Klasik dan Rekontruksi) yang sempat terbengkalai dan telah dilimpahkan kepada generasi berikutnya.
Dan dalam memformat proyek Al-Turats Wa Tajdid, Hasan Hanafi meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban; bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berpikir: Kemarin (Al-Madli), yang dipersonifikasikan dengan Turats Qadim (Khazanah Klasik), Esok (Al-Mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan Turats Gharbi (Khazanah Barat), dan Sekarang (Al-Hali), yang dipersonifikasikan dengan Al-Waqi’ (Realitas Kontemporer). Tiga Frontasi (Al-Jabhah Al-Tsalatsah) proyeksi Turats Wa Tajdid. Kita berada di tengah lingkaran piramida peradaban itu. Dalam Turats Qadim, kita meletakkan Khazanah Klasik sebagai acuan berpikir yang mempunyai bentangan sejarah peradaban sangat luas dan dalam yang telah mengakar jauh ke bawah. Dalam Turats Gharbi kita meletakkan Khazanah Barat sebagai tamu peradaban yang mempunyai bentangan sejarah selama sekitar dua abad (masa saat Islam mulai mengakui adanya signifikasi Budaya Barat, sehingga dia harus datang dengan berpakaian sebagai seorang murid). Sedangkan dalam Al-Waqi’ kita meletakkan Realitas Kontemporer sebagai ladang untuk bertanam, bercangkok dan berinteraksi antar Khazanah Klasik dengan Khazanah Barat. Korelasi di antara ketiganya (Khazanah Klasik, Khazanah Barat, dan Realitas Kontemporer) sangat luas sehingga antara satu masa lainnya tidak mungkin dipisahkan, kata Hasan Hanafi. Disinilah proses terjadinya akulturasi (Al-Tatsaqquf/ Al-Tahaddur) tidak mungkin terelakkan.
Sementara Turats, menurut Hasan Hanafi, bukanlah sekedar barang yang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu di perpustakaan atau museum, baik dalam bidang agama, sastra, seni, budaya maupun ilmu pengetahuan. Akan tetapi, lebih dari itu, Turats adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berpikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta pemimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. Karena itu, setiap masa mempunyai Turats. Dan Turats harus diinterpretasikan seperti itu.
Akan tetapi, kenyataan membuktukan bahwa Turats kita telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme yang mencekam. Akibat ulah tangan-tangan penguasa (kanan yang menindas). Sementara “kalangan awam” (kiri), dan mayoritas masyarakat selalu menjadi kaum lemah dan tertindas. Hanafi menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kelompok minoritas kekuasaan, dan praktik keagamaan semata diubah menjadi ritus. Hasan Hanafi melihat kecenderungan seperti itu hanyalah “kedok” yang menyembunyikan sikap feodalisme dan kapitalisme kekuasaan.
Berangkat dari realitas diatas, Hasan Hanafi memandang perlunya langkah-langkah eksploratif terhadap Turats yang berorientasi pada kepentingan umat Islam yang tertindas. Turats harus direvitalisasi dan bukan hanya sekedar dipajang, dikutip, dan disyarah. Turats hendaknya, mampu menjadi basis dan titik tolak bagi kekuatan reviosioner untuk umat Islam.
IV. PENUTUP
Hasan Hanafi adalah pemikir dunia Islam yang berkeyakinan bahwa tradisi agama mempunyai pijakan ideologis yang kuat untuk mengerakan perubahan sosial. Dunia Islam, menurutnya, jika tidak ingin selalu tersobek diantara tradisionalisme dan sekularisme, antara konservatisme dan progesivisme, dan antara fundamentalisme dan westernisme, maka tidak ada jalan lain yang dilakukan kecuali memakai landasan kekayaan dari tradisi-tradisi lama yang dimaknai secara dinamis dan kreatif. Elaborasi tradisi lama dengan abstraksi dari basis material massa dan kebudayaan dari ideologi-ideologi modern merupakan pertautan menarik diantara bangunan epistimologi dari sebuah paradigma. Tradisi lama akan dianggap efektif dalam menggerakkan massa, karena ia berakar dan melembaga sebagai tradisi dalam masyarakat, sedangkan abstraksi ideologi modern dapat memberikan spirit untuk mengarahkan nuansa progesivitas gerakan massa.
References
1. Hanafi, Hasan, 2003, Hermeneutic, Liberation And Revolution; Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi Dan Hermeunetik, Primasophie, Jakarta.
2. ___________, 2003, Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Paramadina, Jakarta.
3. ___________, 2001, Sendi-Sendi Hermeunetika: Membumukan Tafsir Revolusi, Titian Ilahi Press, Yogjakarta.
4. __________, 1992, Muqaddimah Fi ‘Ilm Al-Istighrab, Al-Muassasah Al-Jami’iyah Li Al-Dirasah Wa Al-Nasyr Wa Al-Tawzi’, Beirut.
5. Hanafi, Hasan dan Muhammad ‘Abid Al Jabiri, 2003, Membunuh Setan Dunia: Melebur Timur dan Barat Dalam Cakrawala Kritik dan Dialog, IRCiSoD , Yogjakarta.
6. Santoso, Lietiyono, 2006, Epistimologi Kiri, Ar-Ruzz, Jakarta.
7. Shimogaki, Kazauo, 1993, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta.
8. Mustafied, Muhammad, 2000, Merancang Ideologi Gerakan Islam Progesif-Transformatif: Mempertimbangkan Kiri Islam, dalam Muhidin M. Dahlan, Sosialesme Religius: Suatu Jalan Kempat, Kreasi Wacana, Yogjakarta
Posting Komentar